Sabtu, 07 Mei 2016

Jadilah Anak Perantauan




Merantau, sebenarnya adalah hal yang lumrah dalam keluarga saya. Hampir semua saudara menjadi perantau di kota orang, bahkan di negeri orang sekalipun. Baik untuk menuntut ilmu ataupun bekerja. Namun, sempat ada ketakutan tersendiri jika memikirkan ketika saya harus pergi merantau nantinya. Apalagi setelah masuk SMA, karena ke mana lagi saya setelah lulus? kalau tidak kuliah ke kota orang atau ke negeri orang.

For your information, saya tinggal di sebuah desa yang masih menerapkan istilah dusun dalam pembagian wilayahnya. Dan dalam satu desa, hampir 50% daerahnya terdiri dari hutan-hutan karet, sawah, kebun serta lahan tak terpakai. Agak sedikit pelosok, namun tetap saja menjadi kampung halaman yang selalu membuat hati rindu untuk kembali. Saya kira sudah cukup jelas gambaran desa saya seperti apa. Jangankan fasilitas pendidikan selevel universitas, di kecamatan kami hanya ada satu SMA negeri dan satu SMA swasta. Untuk alternatif, di kota kecil terdekat dari tempat saya tinggal. Universitas yang ada hanya Sekolah Tinggi negeri berbasis agama Islam, dan universitas swasta berbasis agama kristen. Ada juga universitas lain seperti AKPER atau AKBID, namun tidak berniat meliriknya sejak dulu. Ya begitulah, tidak banyak pilihan, merantau adalah jalan keluarnya.

Sebentar, biar saya jelaskan terlebih dulu mengapa tersimpan ketakutan jika saya diharuskan untuk merantau. Alasan pertama, adalah alasan kesehatan. Saya bukan orang yang kuat secara fisik dan gampang sakit (dulunya). Alasan kedua, saya tidak mudah beradaptasi (dulunya). Sampai masalah tidur pun saya akan kesulitan saat berada di tempat lain selain rumah sendiri. Alasan ketiga adalah saya penakut, minder, pendiam bukan main, dan saya bukan anak yang mandiri (sekali lagi itu dulunya). Sebelumnya saya tidak pernah pergi jauh dari rumah. Sama sekali! Coba saja kalian tebak akan bertahan berapa lama tipe anak seperti saya ini jika harus hidup di perantauan?


Saya (dulu), seorang anak perempuan, pendiam, minder-an, anak mamak, suka bergantung pada orang lain, yang selalu tidak bisa minum es dan tidur malam.


Awalnya merantau mempunyai arti berlayar. Pergi ke negeri orang untuk mencari penghidupan, ilmu dan hal lainnya demi kesejahteraan hidup. Semakin kesini, istilah untuk seseorang yang pergi dari tempat asal dia tumbuh. Baik ke kota atau provinsi lain untuk menjalani kehidupan atau mencari pengalaman pun sudah termasuk dalam merantau. Di dalam benak saya selalu berpikir betapa menakutkannya hidup sendirian di kota dengan segala keasingannya tanpa orang tua ataupun saudara. Hanya membayangkannya saja beribu-ribu kali saya bertanya pada diri sendiri, mampukah saya jika harus jauh dari rumah? Jauh dari orang tua? Melakukan semuanya serba sendiri? Apalagi saya anak perempuan satu-satunya, kasian mamak kalau gak ada yang bantuin di rumah (hanya sebagai alasan pembenaran waktu itu).

Pasti ada yang pernah merasakannya, saat mulai tumbuh dewasa dihinggapi rasa bimbang apakah akan tetap bertumbuh di tempat kita lahir atau berkelana ke tempat lain, memperoleh gelar pendidikan maupun mencari pekerjaan yang lebih baik. Beberapa adat di Indonesia, merantau merupakan suatu kewajiban, namun hanya untuk anak laki-laki. Bagaimana dengan anak perempuan? Jika saya ditanya hal itu sekarang, saya akan menjawab, menurut saya untuk tujuan mencari pengalaman dan ilmu bagi seorang wanita sah-sah saja pergi merantau. Merantau pun sudah menjadi tradisi bagi umat Islam sejak dulu. Menuntut ilmu adalah suatu kewajiban bagi setiap muslim dan muslimah meskipun ilmu itu berada di negeri yang jauh. Bahkan dalam sebuah syair, Imam Syafi’i pernah berkata ciri orang yang berakal dan berbudaya adalah tidak akan tinggal seterusnya di satu tempat. Meninggalkan tempat tinggalnya untuk mengembara, itulah bagian dari istirahatnya.

Oke lah mau tidak mau, suka tidak suka berarti saya harus pergi merantau. Kalau memang begitu, merantau yang jauh sekalian, pikirku. Mulailah saya mencari-cari referensi universitas yang saya inginkan. Balada pendaftaran saya mulai dari jalur PMDK di UNIBRAW Malang dan UNSOED Purwokerto, sayangnya tidak lolos. Kemudian jalur tes masuk di STAN Jakarta, pun tidak lolos. Kesempatan terakhir, tes SNMPTN. Saat memilih universitas mana yang akan menjadi pilihan, saya bingung, sungguh bingung. Bingung bukan karena memilih universitas mana yang memberikan peluang terbesar saya untuk lolos tes. Namun kota mana yang akan saya pilih. Pilihan pun jatuh pada hari terakhir pendaftaran. Entah karena apa, sepertinya saya tiba-tiba asal memilih. Yaitu UNS Surakarta dan jurusannya adalah Psikologi, tidak akan ada yang bisa menebak saya yang hobi matematika masuk jurusan ini. Singkat cerita saya pun diterima, memang sudah takdir kali ya. (Jika kalian familiar dengan istilah-istilah yang saya sebutkan tadi, berarti kita seangkatan).

Kota Surakarta, sekali lagi entah mengapa saya memilih kota ini. Awalnya saya tidak tahu menahu mengenai kota yang lebih dikenal dengan nama Kota Solo itu. Namun tak kenal memang tak sayang, kan? Mari kita lihat sesayang apa saya pada kota ini akhirnya. Kota Solo memang unik, luasnya sih tidak seberapa tapi dikelilingi beberapa kota bagaikan satelit dan Solo-lah pusat satelitnya, antara lain ada Kartasura, Solo Baru, Sukoharjo, dan Palur. Kota Solo terkenal dengan wisata sejarahnya, tak banyak kota di Indonesia yang memiliki kraton. Dan Solo memiliki dua Kraton. Memang keren. Masyarakatnya yang santun, warisan tradisional yang tetap dijaga, kota yang nyaman dan aman untuk ditinggali menjadi image kota Solo.

Meskipun jarak Universitas Sebelas Maret Surakarta hanya 67 KM dari rumah saya, 1 jam lebih 49 menit perjalanan darat menggunakan bus umum. Tidak mungkin saya pulang pergi kampus rumah setiap hari kan? Resmi lah saya menyandang gelar mahasiswa rantau. Jarak yang cukup dekat ini kemungkinan batas kemampuan saya untuk merantau waktu itu. Ya karena Allah lah Yang Maha Mengetahui, tak akan memberikan cobaan pada hambaNya di luar batas kemampuannya. Namun tetap saja, namanya juga pertama kali jauh dari rumah, jauh dari orang tua. Saya mulai mempersiapkan semua hal untuk kebutuhan saya di tanah rantau sedini mungkin. Mulai dari mencari kos, packing barang-barang yang perlu dibawa, pokoknya banyak lah yang harus diurusi. Hingga tibalah hari itu. Hidup di kota orang. Benar saja, beberapa hari di kos baru, tak bisa tidur. Selalu menghitung hari, mananti-nanti datangnya akhir pekan dan ingin cepat pulang. Menangis sendirian waktu awal-awal di perantauan mungkin bukan saya saja yang mengalaminya, pasti kamu juga pernah kan?

Memang seperti ini seharusnya, singa hutan dapat menerkam mangsanya setelah ia tinggalkan sarangnya, anak panah tak akan mengenai sasarannya, jika tak beranjak dari busurnya. Itu berarti untuk mencapai tujuan hidup, kita harus keluar dari zona nyaman dan memperjuangkannya. Sebagai mahasiswa rantau, secara tidak sadar kita mempunyai keunggulan lebih dibandingkan mahasiswa lain yang tinggal di rumah, karena ada beberapa hal yang hanya bisa kamu dapatkan saat menjadi perantau. Tanah perantauan yang tak jarang mempunyai perbedaan budaya, pola pikir masyarakatnya, dan perbedaan kebiasaan akan memberikan pembelajaran bagi kita. Secara umum berikut secuil manfaat yang bisa didapat saat menjadi perantau.

Pertama, melatih kemandirian dan belajar lebih bertanggung jawab. Jika kalian bukan sesorang yang mandiri (seperti saya dulu) sangat disarankan pergi merantau. Setidaknya dengan merantau akan memberikanmu pengalaman untuk lebih mandiri. Saat di rumah mungkin masih mengandalkan orang tua untuk terlibat dalam berbagai masalah, tapi jangan ditanya kalau di tanah rantau kan dikit-dikit gak bisa langsung ke orang tua. Di saat inilah diri kita ditempa untuk menjadi lebih tangguh. Juga suatu hal yang cukup menantang tinggal sendirian dan harus menjaga tanggung jawab yang diberikan orang tua pada kita.

Kedua, belajar lebih mudah beradaptasi dan bertahan hidup, memang awal pergi merantau akan merasa tidak betah, kesepian, danhomesick tingkat dewa. Berada di lingkungan baru kadang tidak mudah bagi sesorang untuk menyesuaikan diri, karena keharusan untuk bertahan jadi akan terbiasa dengan sesuatu yang asing. Sehingga tidak akan terlalu canggung ketika berada dalam situasi baru dan akan lebih mudah beradaptasi. Hal ini juga akan membantu kamu waktu memasuki dunia kerja nanti.

Pergilah merantau untuk mencari kemuliaan karena dalam perjalanan itu ada empat kegunaan; yaitu menghilangkan kesedihan, mendapatkan ilmu, mengagungkan jiwa, dan dapat bergaul dengan orang banyak. (Imam Syafi'i)

Ketiga, mendapatkan banyak teman dan kerabat, memang tepat sekali apa yang disampailan Imam Syafi'i dalam syairnya “Pergilah dengan penuh keyakinan! Niscaya akan engkau temukan pengganti semua yang engkau tinggalkan.” Di kampus kita pasti akan bertemu dengan banyak teman yang sama-sama anak rantau. Maka akan terjalin hubungan yang lebih erat karena merasa senasib dan seperjuangan. Selain itu, di lingkungan baru dengan bertemu dengan banyak orang baru, pasti akan mendapatkan kerabat baru yang terjalin bukan karena darah yang sama melainkan hanya karena jarak yang dekat.

Keempat, menambah pengetahuan dan melatih kemampuan diri. Pernah ada ungkapan “Biasanya jarak jelajah kaki, dan jarak pengetahuan serta jarak pandang mata hati, punya korelasi yang signifikan.” Yup. Mumpung di kota orang kita harus menciptakan kesempatan belajar banyak hal dan menjelajahi banyak tempat. Solo, kota yang tak akan membosankan untuk dijelajahi.

Kelima, kemampuan manajemen diri, sebagai anak rantau sudah seharusnya dapat mengatur waktu, mengatur keuangan, dan mengatur segala kebutuhan sendiri. Karena semua kita lakukan akan serba sendiri jadi harus tahu mengatur waktu kuliah, waktu belajar, mencuci pakaian, membereskan kamar, mengatur keuangan, seberapa bagian untuk makan sehari-hari, belanja kebutuhan pribadi, buku-buku/fotocopy-an materi tugas kuliah, budget untuk main dengan teman dan sebagainya. Jadi kita pasti akan terbiasa memenejemen diri sendiri. Kini saya tahu betapa beruntungnya tinggal di Kota Solo yang segala sesuatunya masih murah meriah. Setidaknya akan lebih mudah mengatur keuangan (dan punya banyak susuk dari uang saku).

Keenam, semakin rindu dan mencintai kampung halaman. Pulang kampung adalah tema yang selalu menyenangkan dalam dunia perantauan. Hal ini akan membuat kita semakin menghargai kesempatan untuk pulang dan berkumpul dengan keluarga maupun orang-orang di lingkungan rumah. Satu hal yang harus diingat, pulang tanpa keberhasilan adalah kegagalan. Totalitas berjuang di perantauan adalah hal wajib. Mumpungmasih di perantauan jangan pernah kita menyia-nyiakan waktu dan perjuangan di tanah rantau.

Sebenarnya bukan seberapa jauh kita merantau, namun tentang bagaimana kita mengambil pembelajaran dari perantauan. Mungkin saya atau kamu, belum sampai ke tempat yang ingin kita tuju. Namun sebenarnya kita berada di tempat yang seharusnya. Hanya nikmati dan syukuri proses belajarnya. Pengalaman merantau saat masa kuliah bisa dijadikan bekal di kehidupan yang akan datang. Maka berbanggalah bagi kalian yang pernah merasakan merantau. Karena tidak semua orang berkesempatan untuk itu. Dan khusus bagi kamu yang sedang kuliah di Solo, apalagi di Psikologi UNS. Nikmatilah waktu-waktumu saat merantau di Solo, karena ada yang pernah bilang "Akan datang waktu di hari nanti saat kamu merasakan gagalmove on dari Solo dan UNS".

Saya (sekarang), seorang wanita, alumni Psikologi UNS, lulus sarjana psikologi 5 tahun 1 bulan, tak bosan menjadi anak rantau (lagi), yang selalu merindukan Solo dan kenangannya. Saya bersyukur pernah berada di kota dengan sejuta alasan untuk kembali.


Berlelah-lelahlah, manisnya hidup terasa setelah lelah berjuang. (Imam Syafi’i)

Ditulis dan direpost oleh :
Dyah Mayasari,
Alumni Psikologi UNS 2009 

Visit : lobimesen.com

Minggu, 01 Mei 2016

Bali. Things to Do (Bag. 3)


Pernah di malam kedua kami jalan-jalan malam sebentar di sekitaran hotel, mencari indomaret. Sepanjang jalan Kuta memang ramai, banyak wisatawan lokal maupun bule-bule yang seliweran. Tempat yang tidak pernah mati. Dengan pemandangan yang kanan kirinya toko souvenir, restoran seafood dan bar ataupun diskotik. Apalagi daerah Legian, bahkan banyak orang yang joged-joged di pinggir jalan. Duh, duuh ini bukan tempat kami. Hahaa

Yang juga menjadi perhatian saya, hampir semua toko di sana lebih banyak didominasi dengan merk-merk luar negeri seperti Quicksilver, RipCurl, Roxy, Point Break, Billabong, Mooks, D&G dan lainnya. Memang, mereka merk internasional yang terkenal di dunia sehingga sudah mendapat kepercayaan dari pengunjung yang kebanyakan wisatawan mancanegara. 

Namun ini sebenarnya menjadi pangsa pasar yang empuk bagi merk dalam negeri untuk show off. Kalau dilihat lagi, produk-produk dalam negeri hanya merajai wisatawan dalam negeri dengan pusat oleh-olehnya yang murah. Bahkan pabrik kata-kata sebesar Joger hanya diminati oleh wisatawan domestik. Seharusnya penggerak ekonomi Bali bisa membatasi merambahnya merk-merk luar negeri dengan meningkatkan distro, pusat perbelanjaan, produk-produk made in Indonesia. Pasti tidak mudah, tapi tidak mustahil, kan? 

***

Hari terakhir di Bali kami tak mau ketinggalan momen-momen berharga di sana. Kami bangun lebih pagi, 2 teman saya langsung berenang. Karena tidak bisa berenang saya memilih untuk packing dan mandi. Juga foti-foto. Hahaha

Hotel Kami Menginap

Setelah semua mandi dan sarapan, kami menuju Discovery Shopping Mall yang hanya berjarak 100 meter dari hotel kami. Mall yang terletak di bibir pantai, salah satu pusat perbelanjaan terbesar di Bali. Niat awal memang tidak ingin belanja hanya ingin ke mall pantainya yang terkenal itu.

Discovery Shopping Mall
Hal yang paling unik di sini. Saat ke bagian belakang mall akan kalian akan menjumpai pantai. Duduk santai di sini juga pilihan yang menarik.

Belakang Discovery Shopping Mall

Saat berada di sana, jalanan Kuta sedang ditutup karena ada arak-arakan upacara Ngaben. Baru saya lihat dengan mata kepala sendiri dan “oh, memang wajar kalau jadi upacara mahal”. Arak-arakan yang sangat panjang, baju yang serupa untuk seluruh keluarga, dan sajen yang sangat banyak.

Arak-arakan Upacara Ngaben
Siang hari sebelum jam 12.00 WITA kami kembali ke hotel untuk check out. Makan siang kami ingin ke Bale Udang Mang Engking. Katanya, udang madunya sangat yummy (tapi memang benar). Berhubung hujan sangat lebat kami di Bale Udang cukup lama. Menikmati udang madu bakar di balai di atas danau buatan ditemani hujan. Maka, niknat Tuhan manakah yang kamu duatakan? Luar biasa nikmatnya.

Penerbangan pulang kami pukul 18.45 WITA. Selesai makan pukul 15.00 WITA. Menunggu waktunya boarding kami jalan-jalan dulu mencari makanan khas Bali. Salah satunya Pia Legong. Oleh-oleh dari Bali yang cukup terkenal. Laris banget. Counternya hanya satu, berada di Jalan By Pass Ngurah Rai. Pembeli harus antri untuk mendapatakannya dan maksimal membeli 2 kotak per orang.

Hujan yang cukup lebat membuat jalanan di kota Kuta tergenang air cukup tinggi dan membuat macet. Untung kami sampai di bandara tepat waktu, pukul 17.30 WITA taksi merapat di depan bandara. Tiba di bandara dengan backsound alunan alat musik tradisional Bali membuatku yakin, tempat ini akan membuatku kangen. Semoga kembali kesana suatu saat nanti.

Mungkin perjalanan kali ini cukup mainstream dengan objek wisata kedua kalinya saya kunjungi, tapi tetep seru. Selain tempat-tempat yang telah saya sebutkan, Bali masih punya banyak tempat yang menarik untuk dikunjungi.

Sekian. Sampai jumpa di cerita yang ceritanya jalan-jalan selanjutnya yaa! Hahaa
Salam.

Bali. Things to Do (Bag. 2)



Masih dengan saya dan Bali. Perjalanan hari kedua menuju Bali wilayah barat. Kalau kemaren selalu ke pantai, hari ini akan banyak bertemu dengan sawah, gunung dan danau. Destinasi pertama kami menuju daerah Bedugul, ke Pura Ulun Danu Beratan. Pura yang indah, di pinggir danau Beratan, terkenal sebagai objek gambar di uang 50rb an.

Air Danau Beratan Agak Surut
Jarak dari Kuta menuju Bedugul menghabiskan waktu kira-kira 1 jam 40 menit, jadi kami berangkat lebih pagi. Kami tiba tepat ketika gerbang tiket Ulun Danu dibuka, pukul 09.00 WITA. Namun tempat itu sudah ramai. Kelihatannya akan diadakan upacara keagamaan di sana. Di Pura Ulun Danu ini terdapat candi-candi dan tentu saja pura yang masih secara rutin digunakan umat Hindu di Bali untuk melaksanakan upacara keagamaan. 

Salah satu yang menarik di Bali itu adat budayanya dan agama Hindu yang menyatu. Menjadi keunikan tersendiri. Pun ketika saya melihat sendiri upacara yang mereka adakan pagi itu. Namun sayangnya saya tidak mencari tahu upacara apa yang sedang mereka lakukan. Jadi cuman nonton aja deh.

Upacaa Keagamaan di Pinggir Danau Beratan Pura Ulun Danu
Agak lama kami menikmati pemandangan danau, pegunungan dan pura dalam satu kedipan mata ini. Membayar perjalanan kami yang cukup panjang. Suasana daerah disini mirip seperti daerah Tawangmangu, Karanganyar. Asri, dingin, dan hijau. 
Taman sekitar Danau Beratan
Puas berkeliling, selanjutnya kami menuju Jogger Bedugul. Meski sudah membeli oleh-oleh, tapi tempat ini pengecualian. Karena rasanya sudah seperti kewajiban saja, kalau ke Bali ya ke Jogger. Setidaknya mampir sebagai fomalitas lah

Perjalanan pulang sengaja kami melewati rute yang tidak biasanya, menuju Denpasar. Hanya ingin berburu kuliner. Setelah muter-muter sebentar di “alun-alun”nya Bali kami makan di tempat makannya mahasiswa dekat Universitas Udayana. 

Ayam Kremes Cak Iwan. Menurut blog kuliner yang saya baca, dari berbagai kuliner di Bali makanan ini mendapat rating yang cukup tinggi. Artinya, makanan di sana enak. Ayam ungkep yang digoreng disajikan dengan kremesan, sambel ijo, lalapan dan nasi panas itu mengingatkan saya pada warung Ayam Kremes Pak Man di belakang Kampus Kentingan, Solo. Persis banget rasanya. Duh, seketika kangen Solo. 

Sepanjang jalan pulang, cuaca sedikit tidak bersahabat, hujan cukup deras. Sesorean kami hanya berkeliling kota, melihat-lihat dari mobil hingga hampir petang. Perjalanan kembali ke Kuta sekitar 20 menit. Karena sore sudah makan kami memutuskan untuk tidak makan malam. Jadi kami langsung pulang ke hotel. 

Malam ini perpisahan dengan mas supir yang mengantar kami. Besok kami memutuskan untuk tidak menyewa mobil karena ingin menikmati fasilitas hotel, berjalan-jalan sekitat hotel dan nyicip-nyicip makanan di sekitar sana.

To be continued.

Jumat, 29 April 2016

Bali. Things to Do (Bag. 1)


Hay! Entah apa yang saya pikirkan malam itu, ya, malam dimana saya menuliskan ini. Awalnya saya yang tiap pulang kerja tidak punya kerjaan selain berselancar di dunia maya, mending saya benar-benar mengisi dunia maya. Karena ide untuk menulis tak kunjung datang, seketika terbersit lah menulis travel guide ini, yang sebenarnya bukan benar-benar trevel guide sih. Meskipun bukan seorang traveller yang sudah berkunjung ke berbagai tempat, tapi ya sudahlah, itung-itung nyenengke hati sendiri, berbagi cerita dengan kang mas dan mbak yu semua. 

Mulai dari mana ya? Hmm. Oke, saya mulai dari perjalanan yang sedikit jauh. Kali ini cerita tentang plesir ke Pulau Dewata, pulau para dewa. Meski hanya sekali, mungkin hampir semua orang pernah ke sana, setidaknya waktu karya wisata saat SMA. Begitupun dengan saya. 

Sayangnya kunjungan saat itu bukan sesuatu yang berkesan. Bahkan kalau diminta untuk menyebutkan kemana saja saya dulu, saya ogah bercerita. Yang saya ingat hanya pemandangan pantai, pantai dan pantai, tanpa tahu dan tidak ingin tahu namanya. Eh, sebenarnya ada yang tak kan pernah terlupa, bahkan menolak lupa. Pengalaman hampir tenggelam di laut lepas. 

Setelah kejadian itu, pantai yang begitu anggun dan menawan, tak menarik hati saya. Mereka yang tenang, bisa saja diam-diam menenggelamkan. Tapi mau gimana lagi, memang sudah dasarnya cantik. Tak mampu saya berlama-lama membencinya. 

Pantai dengan pemandangannya yang punya daya magis, sesederhana apapun laut tetap terlihat istimewa. Selalu membuatku larut saat memandanginya. Ya begitu, hanya memandanginya atau sekedar membasahi kaki.

***

Akhir tahun 2015 lalu, saya berkesempatan dan menyempatkan berkunjung ke sana lagi. Memperbaiki hubungan dengan Bali. Saya kesana hanya dengan dua teman, yang kebetulan semuanya perempuan. Perjalanan wisata dengan sponsor yang lumayan. Hahaa. 

Kami sudah mempersiapkan tiket pesawat dan memesan hotel jauh-jauh hari. Pemesanan tiket pesawat dengan harga yang masih terbilang murah setidaknya dipesan 2 minggu sebelum keberangkatan. Bagi yang hobi jalan-jalan, aplikasi pemesanan tiket pesawat, tiket kereta ataupun hotel wajib ada di telepon pintarmu. 

Dengan itu, pemesanan akan jauh lebih mudah, pesan-pesan-pesan tinggal bayar. Jika kamu beruntung ada banyak promo yang kadang ditawarkan, baik dari aplikasi ataupun pihak maskapai. 

By the way, direct flight dari Semarang menuju Denpasar jumlahnya hanya sedikit dan terbilang agak mahal. Berbeda penerbangan dari Jakarta atau Surabaya yang harganya jauh lebih murah dan pilihan maskapai lebih banyak. Tinggal pilih saja bandara terdekat dari tempatmu, dengan sedikit pilah pilih dan kombinasi transpotrasi sesuai budget

Kalau soal hotel, pilih saja hotel yang tidak perlu terlalu bagus. Cukup hotel bintang 1 atau 2 atau bahkan cukup dengan homestay. Disana juga banyak kamar kos yang disewakan per hari atau losmen, terutama daerah gang-gang jalan Kuta dan Legian. Toh nanti hanya untuk tempat menaruh barang dan numpang tidur. Tapi tetap pertimbangkan kenyamanan dan letaknya. 

Ada satu lagi yang perlu dipersiapkan. Transpotrasi selama di Bali. Sebagai para perempuan yang mengutamakan keamanan, kami memutuskan menyewa mobil untuk tour kami. Namun jika ingin lebih hemat, bisa menyewa sepeda motor yang banyak ditawarkan disana. Untuk sewa mobil budget yang harus dikeluarkan sekitar 400-500rb/12 jam (include BBM dan supir) dan untuk sepeda motor sekitar 30-50rb/hari (exclude BBM). 

Jika di Bali saya tidak sarankan naik kendaraan umum, soalnya tidak ada angkot dan bis kota sangat jarang, yang banyak hanya taksi. Juga persiapkan rute perjalanan selama disana, lebih baik tentukan terlebih dulu tujuan kemana saja kamu akan pergi saat di Bali. Bisa cari-cari di internet atau baca di blog orang lain, seperti ini. Hahaa 

***

Perjalanan kami rencanakan selama 4 hari 3 malam. Kami berangkat dengan penerbangan siang hari. Hari Kamis, 10 Desember 2015 pukul 14.15 WIB dari Bandara Ahmad Yani dengan Garuda Indonesia.

Ready to Get Lost in Bali
Cuaca cukup cerah, jadi perjalanan berjalan aman dan tiba tepat waktu. Pukul 17.30 WITA pesawat landing dengan mulus di Bandara Ngurah Rai. Saat tiba di bandara, untuk menghindari taksi bandara yang cukup mahal, kami mencari taksi reguler dengan berjalan menuju tempat parkir. Disana akan ada beberapa taksi yang lewat atau terparkir. 

Plan pertama, kami menuju hotel untuk check-in dan istirahat sebentar. Hotel yang kami pilih berada di daerah Kuta yaitu Sun Island di Jalan Kartika Plaza, Kuta. 10 menit dari bandara. Hotel yang tidak terlalu besar, namun nyaman, lengkap dengan kolam renang dan restoran 24 jam. Lokasinya juga strategis dan ramai. Dari hotel, Pantai Kuta bisa kami jangkau dengan berjalan kaki, ada mall yang cukup besar, dan banyak tempat makan dengan berbagai menu di sepanjang jalan. Alasan utama kami memilih hotel itu sih, biar nggak susah cari tempat makan. 

Setelah mandi, sholat dan sedikit beres-beres, kami pergi makan. Ke mana pun kita pergi, cara paling aman dalam hal makan di tempat asing (tanpa ada rekomendasi orang lain) adalah makan di tempat yang banyak ada di berbagai kota. Jadilah kami makan di restoran sejuta umat nusantara. Pengennya sih di Spesial Sambal alias SS tapi nemunya D'Cost. Hahaa

Setalah makan, kami ke Krisna Oleh-oleh Khas Bali. Saran dari seorang teman, lebih baik kami mencari oleh-oleh terlebih dahulu. Karena akan nggak asik banget kalau liburan direpotkan dengan belanja oleh-oleh, katanya. Oke. Sebelum kami memulai plesir 3 hari kedepan, kami memutuskan untuk belanja. Sungguh momen menyenangkan bagi para wanita. 

Krisna adalah salah satu pusat oleh-oleh dengan beberapa toko di Bali, yang terbesar di Jalan Sunset Road, Kuta. Kata Pak Sopir Taksi, disini yang termurah dan terlengkap dibandingkan toko Krisna yang lain. Juga dilengkapi restoran yang cukup besar dan foodcourt dengan beberapa kios makanan. Puas berbelanja kami kembali ke hotel. 

Pagi hari kami janjian dengan mas supir pukul 08.00 WITA. Setelah sarapan di hotel kami langsung cuss berangkat. Plesir hari pertama kami rencanakan ke daerah Bali Selatan dan objek wisata pertama yang kami tuju adalah Tanjung Benoa. Yaa, main wahana air. Sebelumnya saya sudah pernah menjajal keberanian bergulat dengan air. Perlatihan water rescue 5 tahun yang lalu. Never mind. Saya bisa menaklukkannya (dengan pelampung) meski tetap ada takut yang terpendam. 

Perjalanan dari Kuta menuju Tanjung Benoa sekitar 30 menit, dengan melewati tol laut Mandara. Pemandangannya cukup asoy, melewati jalan yang kanan kirinya benar-benar laut. Perlu kalian tahu, di Tanjung Benoa ada banyak sekali sejenis agen permainan atau olahraga air, jadi pintar-pintar memilih tempat yang harganya miring. 

Rata-rata olahraga air yang ada disana hampir sama seperti Banana Boat, Rolling Donut, Flying Fish, Parasailing, fasilitas seperti snorkling, diving, Glass Bottom Boat untuk menyeberang ke Turtle Island juga ada. Dengan harga mulai dari 100rb hingga 750rb per permainan. Disana saya cuman naik Rolling Donut, sejenis permainan menggunakan ban besar yang ditarik speed boat dengan sedikit atraksi ngepat-ngepot. Lumayan seru.

 Modalnya Tenang, Jangan Panik!
Perjalanan selanjutnya, Garuda Wisnu Kencana Culture Park atau terkenal dengan singkatan GWK. Dari Tanjung Benoa sekitar 20 menit. Tiket masuk 50rb per orang (untuk dewasa). Sepertinya tempat ini masih sama dari 8 tahun yang lalu saya kesini. Hanya lebih rindang dan beberapa fasilitas tambahan seperti restoran dan toko souvenir yang lebih besar, selebihnya sama. 

Jadwal kami sampai bertepatan dengan digelarnya pementasan tari Barong di Amphitheatre, seperti gedung pentas seni tanpa atap. Di GWK pementasan seperti ini rutin dan terjadwal digelar, juga ada tari kecak yang biasanya dipentaskan saat matahari terbenam. Sekitar 2 jam kami disana, sempat foto dengan penari Barong nya loh (yang saya curigai dia seorang bule, hahaa). Oke lanjut ke tempat berikutnya.

Para Penari Barong ( dan kami)

Pura Luhur Uluwatu. Perjalanan menuju kesana hanya 15 menit. Sebelumnya kami mampir dulu di sebuah warung masakan Jawa untuk makan siang. Sebenarnya soal makan di Bali, kalian tidak usah khawatir, karena disana masih banyak tempat makan yang relatif murah. Warung makan sederhana, warung padang, warung soto, bahkan gado-gado juga ada. Dengan harga berkisar 10-20rb per orang sekali makan. 

Tiket masuk ke Uluwatu 30rb per orang. Saat berjalan menuju pura banyak monyet yang berkeliaran di pepohonan bahkan di jalanan. Jadi hati-hati saat menenteng barang. Pura ini terletak di atas tebing di tepi pantai. Saat kita di sana memang benar-benar di bibir tebing. Syahdunya, ketika angin laut bertiup kencang. Sempribit. Disana kami menghabiskan sore juga cekrak cekrek sana sini pastinya, sambil mikir kemana kami akan menikmati sunset.

Pura Luhur Uluwatu, Ketinggian yang Mengindahkan.
Di Uluwatu saat itu masih pukul 16.00 WITA. Eh, disana juga ada seperti tempat pentas seni out door yang setiap matahari terbenam, digelar pementasan tari kecak. Sebenarnya akan sangat sempurna saat sunset di atas tebing pantai, ikut menari kecak. Tapi apa daya kami harus lanjut ke tempat berikutnya (karena saya kalah suara sih, hahha). Rencana yang disepakati adalah menuju Jimbaran. Makan malam di tepi pantai sambil memandangi langit yang mulai berubah warna. Okelah, tidak terlalu buruk, searah pulang juga ke Kuta. 

Pukul 17.00 WITA kami sampai di restoran tepi pantai yang dipesankan supir. Restoran dengan pasir sebagai lantainya, langit sebagai atapnya, dan pantai sebagai pemandangannya. Banyak restoran yang berjejer di sepanjang pantai Jimbaran ini, tinggal pilih saja. Dan hal pertama yang terbersit di benak saya saat sampai, pasti mahal. Benar saja, akhirnya kami pilih paket yang paling memungkinkan dan menguntungkan. All varian seafood 150rb per orang.

Sunset-nya Jimbaran
Kami memesan agar makanan dikeluarkan ba’da maghrib. Jadi kami bisa jalan-jalan dulu di pinggir pantai Jimbaran. Akhirnya, kami tutup perjalanan hari pertama di Bali dengan makan malam romantis di pinggir pantai. Pukul 20.00 WITA tepat kami sampai di hotel. 

Di Bali Selatan sebenarnya banyak sekali objek wisata, yang sekarang mulai nge-hits itu ada Pantai Pandawa, pantai dengan pemandangan tebing kapur yang dikeruk; Pantai Dreamland, pantai pasir putih yang masih perawan; dan Pantai Blue Point, surganya para surfer. Kalau penasaran, bisa kalian cari lebih lanjut penampakan dan lokasinya. 

Hari pertama, sekian. See yaa!




Kamis, 14 Januari 2016

Sahabat adalah Keluarga yang Kita Pilih




“Friends are family that we choose.”

Kalian pasti punya sahabat kan? Entah itu sahabat saat masih sekolah, sahabat sewaktu kuliah atau sahabat di tempat kerja. Sahabatan sejak kecil hingga dewasa, ataupun dari sahabat jadi cinta dan bisa juga dari cinta jadi sahabat. Dan aku pernah punya semuanya, eh, sudahlah. 

Bagi kalian yang belum punya sahabat, yang menganggap mempunyai sahabat itu tidak penting, yang menganggap dirimu bisa melalui semua yang terjadi sendirian, yang menganggap tanpa adanya orang lain kamu tak kan kesepian. Hellooo. Hidup ini terlalu indah untuk dinikmati sendirian, bung. 

ROEMPI. Nama yang tidak sengaja mampir sebagai nama perkumpulan ukhti-ukhti tanggung kesayanganku. Kami sebenarnya tidak mengeklusifkan diri dengan memberi nama group, awalnya itu hanya nama group WA yang easy listening sehingga jadi kebiasaan menyebut kami, ROEMPI. Sebagai kawula muda, katanya nggak bisa dibilang eksis kalau nggak punya peer group-nya sendiri. Nah, mungkin di sini kami melengkapi tahap perkembangan kehidupan. 

ROEMPI secara resmi beranggotakan delapan orang. Kami memang dipertemukan karena satu jurusan kuliah, yaitu Psikologi UNS. Jadi bisa dibilang kami telah bersama selama lebih dari 6 tahun. Meski sekarang telah banyak kesibukan masing-masing dan telah memiliki dunia baru setidaknya kami masih bisa bertegur sapa melalui dunia maya. Yaa begitulah media sosial, menjadi fungsi yang seharusnya, mendekatkan yang jauh. 

Dalam bersahabat pun saya percaya akan prinsip jodoh. Kalau memang sudah seharusnya bertemu ya pasti akan bertemu. Seperti kami, meski satu jurusan coba kita lihat satu persatu betapa prinsip jodoh itu begitu luar biasa dan terkadang membuat terheran-heran. 

Psikologi UNS 2009, dan sexta virtus. Cerita berawal dari sini.

Pertama dari sahabat yang paling jauh asal muasalnya. RIZKA ARUM PUTRI PERTIWI. Gadis yang lahir 24 tahun silam ini berasal dari Kota Palembang, paling muda dan paling tinggi diantara kami. Lama tinggal di Palembang meski orang tuanya asli orang Jawa. Bagaimana pun jalan ceritanya, Arum, panggilan sayangnya, harus kembali ke kota tempat Ibunya berasal yaitu Solo dan itu pas ketika lulus SMA. Mau nggak mau, suka nggak suka, Arum harus kuliah di Jawa dan UNS lah pilihannya.

Kedua, UMI MASRININGSIH. Setelah lulus SMA, sebenarnya Umi sudah mengadu nasib beberapa tahun di Jakarta. Sahabat yang mempunyai ketertarikan di bidang yang sama denganku, di dunia kepalangmerahan ini, entah ada angin apa memutuskan untuk berhenti kerja dan mendaftar seleksi SNMPTN. Mungkin karena eman-eman kepinterannya. Dari beratus-ratus universitas negeri di Indonesia dia memilih UNS dan Psikologi. Padahal, di kota asalnya, Purwokerto ada universitas negeri yang cukup unggul. Kenapa harus Solo dan kenapa harus UNS? Ya begitulah jodoh. 

Selanjutnya, DIAN EKARINI. Kalau Dian memang warga asli Solo, tepatnya Solo ngulon sitik, yaitu Sukoharjo. Tidak heran, dia sejak awal berniat masuk UNS. Dian lah yang sejak hari pertama OSMARU, sebutan masa orientasi Psikologi, bersebelahan dengan saya. Dari puluhan mahasiswa baru di Psikologi UNS kenapa Dian yang ada di sebelah saya? Sekali lagi, namanya jodoh. Sejak saat itu kami berdua kemana-mana bersama, sudah kayak anak kembar gitu. Dan sekarang, teman seperjuanganku ini sudah menyandang status yang diidamkan banyak wanita, yaitu calon ibu. 

Keempat, INDARTI atau lebih sering dipanggil Iin alias Uun alias Uun Cilikimut. Sesuai dengan panggilannya, Iin paling mini diantara kami semua, eh tapi jangan diragukan semangatnya, lebih kuat dari batrai alkaline. Sama halnya dengan Umi, Iin sudah pernah bekerja setelah lulus sekolah. Oh iya, dia berasal dari Ambarawa, kota kecil sebelah utara Rawa Pening, 30 menit dari rumahku. Kota kami agak tetanggaan memang. Kami mulai dekat saat bersama-sama di salah satu biro organisasi HIMAPSI (Himpunan Mahasiswa Psikologi). Sejak itulah bertambah Iin dalam lingkaran kami. 

Kelima, VERA ANGGRAINI PUSPITASARI, berasal dari Blitar. Mantan mahasiswa teknik salah satu universitas negeri di timur Jawa. Kisahnya agak panjang sih, kapan-kapan aja ceritanya. Yang mendekatkan kami karena dia satu kos dengan Umi dan Dian, yah begitu teman senasib berkumpul solidnya memang tidak ada duanya. Meski banyak pendingnya, akhirnya Vera sampai ke tahap akhir menjadi mahasiswa. Juga salah satu sahabat yang jodohnya cepet banget. Baru saja menikah tapi harus LDRan gara-gara doi belum lulus. Makanya ndang lulus, Ver.

Keenam, DIANDRA JANISTRI WINDYASARI. Diandra sama galaunya dengan Vera, pernah kuliah sampai semester 4 di salah satu sekolah tinggi di Jogja. Bayangkan, setelah 2 tahun baru sadar kalau jurusan yang dia ambil tidak sesuai dengan dirinya. Pacaran 2 tahun putus aja sakitnya minta ampun, gimana rasanya salah jurusan ya? Okelah, salah jurusan yang kebablasan ini termaafkan karena akhirnya Diandra lulus dari Psikologi UNS tepat waktu dan cumlaude pula. *tepuk tangan* Kami mulai sering berkumpul sejak semester tengah-tengah. Karena suatu hal, kami menjadi penampung keluh kesah Diandra, begitulah hubungan kami mengalir begitu saja. 

Terakhir, PRITA RATNA NINGTYAS. Gadis asal Klaten yang dari awal saat aku melihatnya seperti berkaca. Sama-sama jenongnya. Cah bakoh satu ini tidak diragukan lagi perjuangannya. Dari pertama kenal pun sudah ketara orangnya keras dan punya prinsip. Meskipun jadi personel terakhir yang bergabung bersama kami, seperti Diandra, hubungan kami mengalir begitu saja. Dia satu-satunya orang yang aku telpon malem-malem untuk minta pendapat masalah asmara. #tsaah

Dan saya sendiri, pasti takdir yang membawaku ke Solo, soalnya aku sendiri nggak yakin, apa sebenarnya yang mendasariku memilih UNS. Terjadi begitu saja. 

Merekalah ROEMPI, selama 5 tahun di perantauan menemaniku. Bersama mereka aku mengenal berbagai warna warni pelangi. Dari berdelapan, saat ini aku sendiri yang berada di luar kota. Mungkin mereka semua belum saatnya move on dari kota kecil nan indah itu. Atau malah semakin terpaut. Bagaimana tidak, kalau Arum dan Dian memang tinggal disana, sedangkan Diandra dan Prita malah dapet kerja di Solo. Dan lagi, Umi malah diminta jadi penunggu rumah di Sragen yang tidak terlalu jauh dari Solo. Nah, Iin agak mirip denganku. Harus punya “modus” untuk berkunjung ke kota yang menyimpan sejuta alasan untuk kembali itu.

Bagaimana pun, aku selalu merindukan untuk berkumpul bersama mereka. Berada di antara sahabat selalu punya cerita tersendiri. Meski hanya cekikikan nggak jelas, membahas hal-hal nggak penting, bertingkah absurd, atau pun hanya sekedar foto sana foto sini. Entah akan kemana kita kelak, menjadi apa nantinya, mereka lah keluarga yang aku pilih. So glad to have you as my friend, guys.