Merantau, sebenarnya adalah hal yang lumrah dalam keluarga saya. Hampir semua saudara menjadi perantau di kota orang, bahkan di negeri orang sekalipun. Baik untuk menuntut ilmu ataupun bekerja. Namun, sempat ada ketakutan tersendiri jika memikirkan ketika saya harus pergi merantau nantinya. Apalagi setelah masuk SMA, karena ke mana lagi saya setelah lulus? kalau tidak kuliah ke kota orang atau ke negeri orang.
For your information, saya tinggal di sebuah desa yang masih menerapkan istilah dusun dalam pembagian wilayahnya. Dan dalam satu desa, hampir 50% daerahnya terdiri dari hutan-hutan karet, sawah, kebun serta lahan tak terpakai. Agak sedikit pelosok, namun tetap saja menjadi kampung halaman yang selalu membuat hati rindu untuk kembali. Saya kira sudah cukup jelas gambaran desa saya seperti apa. Jangankan fasilitas pendidikan selevel universitas, di kecamatan kami hanya ada satu SMA negeri dan satu SMA swasta. Untuk alternatif, di kota kecil terdekat dari tempat saya tinggal. Universitas yang ada hanya Sekolah Tinggi negeri berbasis agama Islam, dan universitas swasta berbasis agama kristen. Ada juga universitas lain seperti AKPER atau AKBID, namun tidak berniat meliriknya sejak dulu. Ya begitulah, tidak banyak pilihan, merantau adalah jalan keluarnya.
Sebentar, biar saya jelaskan terlebih dulu mengapa tersimpan ketakutan jika saya diharuskan untuk merantau. Alasan pertama, adalah alasan kesehatan. Saya bukan orang yang kuat secara fisik dan gampang sakit (dulunya). Alasan kedua, saya tidak mudah beradaptasi (dulunya). Sampai masalah tidur pun saya akan kesulitan saat berada di tempat lain selain rumah sendiri. Alasan ketiga adalah saya penakut, minder, pendiam bukan main, dan saya bukan anak yang mandiri (sekali lagi itu dulunya). Sebelumnya saya tidak pernah pergi jauh dari rumah. Sama sekali! Coba saja kalian tebak akan bertahan berapa lama tipe anak seperti saya ini jika harus hidup di perantauan?
Saya (dulu), seorang anak perempuan, pendiam, minder-an, anak mamak, suka bergantung pada orang lain, yang selalu tidak bisa minum es dan tidur malam.
Awalnya merantau mempunyai arti berlayar. Pergi ke negeri orang untuk mencari penghidupan, ilmu dan hal lainnya demi kesejahteraan hidup. Semakin kesini, istilah untuk seseorang yang pergi dari tempat asal dia tumbuh. Baik ke kota atau provinsi lain untuk menjalani kehidupan atau mencari pengalaman pun sudah termasuk dalam merantau. Di dalam benak saya selalu berpikir betapa menakutkannya hidup sendirian di kota dengan segala keasingannya tanpa orang tua ataupun saudara. Hanya membayangkannya saja beribu-ribu kali saya bertanya pada diri sendiri, mampukah saya jika harus jauh dari rumah? Jauh dari orang tua? Melakukan semuanya serba sendiri? Apalagi saya anak perempuan satu-satunya, kasian mamak kalau gak ada yang bantuin di rumah (hanya sebagai alasan pembenaran waktu itu).
Pasti ada yang pernah merasakannya, saat mulai tumbuh dewasa dihinggapi rasa bimbang apakah akan tetap bertumbuh di tempat kita lahir atau berkelana ke tempat lain, memperoleh gelar pendidikan maupun mencari pekerjaan yang lebih baik. Beberapa adat di Indonesia, merantau merupakan suatu kewajiban, namun hanya untuk anak laki-laki. Bagaimana dengan anak perempuan? Jika saya ditanya hal itu sekarang, saya akan menjawab, menurut saya untuk tujuan mencari pengalaman dan ilmu bagi seorang wanita sah-sah saja pergi merantau. Merantau pun sudah menjadi tradisi bagi umat Islam sejak dulu. Menuntut ilmu adalah suatu kewajiban bagi setiap muslim dan muslimah meskipun ilmu itu berada di negeri yang jauh. Bahkan dalam sebuah syair, Imam Syafi’i pernah berkata ciri orang yang berakal dan berbudaya adalah tidak akan tinggal seterusnya di satu tempat. Meninggalkan tempat tinggalnya untuk mengembara, itulah bagian dari istirahatnya.
Oke lah mau tidak mau, suka tidak suka berarti saya harus pergi merantau. Kalau memang begitu, merantau yang jauh sekalian, pikirku. Mulailah saya mencari-cari referensi universitas yang saya inginkan. Balada pendaftaran saya mulai dari jalur PMDK di UNIBRAW Malang dan UNSOED Purwokerto, sayangnya tidak lolos. Kemudian jalur tes masuk di STAN Jakarta, pun tidak lolos. Kesempatan terakhir, tes SNMPTN. Saat memilih universitas mana yang akan menjadi pilihan, saya bingung, sungguh bingung. Bingung bukan karena memilih universitas mana yang memberikan peluang terbesar saya untuk lolos tes. Namun kota mana yang akan saya pilih. Pilihan pun jatuh pada hari terakhir pendaftaran. Entah karena apa, sepertinya saya tiba-tiba asal memilih. Yaitu UNS Surakarta dan jurusannya adalah Psikologi, tidak akan ada yang bisa menebak saya yang hobi matematika masuk jurusan ini. Singkat cerita saya pun diterima, memang sudah takdir kali ya. (Jika kalian familiar dengan istilah-istilah yang saya sebutkan tadi, berarti kita seangkatan).
Kota Surakarta, sekali lagi entah mengapa saya memilih kota ini. Awalnya saya tidak tahu menahu mengenai kota yang lebih dikenal dengan nama Kota Solo itu. Namun tak kenal memang tak sayang, kan? Mari kita lihat sesayang apa saya pada kota ini akhirnya. Kota Solo memang unik, luasnya sih tidak seberapa tapi dikelilingi beberapa kota bagaikan satelit dan Solo-lah pusat satelitnya, antara lain ada Kartasura, Solo Baru, Sukoharjo, dan Palur. Kota Solo terkenal dengan wisata sejarahnya, tak banyak kota di Indonesia yang memiliki kraton. Dan Solo memiliki dua Kraton. Memang keren. Masyarakatnya yang santun, warisan tradisional yang tetap dijaga, kota yang nyaman dan aman untuk ditinggali menjadi image kota Solo.
Meskipun jarak Universitas Sebelas Maret Surakarta hanya 67 KM dari rumah saya, 1 jam lebih 49 menit perjalanan darat menggunakan bus umum. Tidak mungkin saya pulang pergi kampus rumah setiap hari kan? Resmi lah saya menyandang gelar mahasiswa rantau. Jarak yang cukup dekat ini kemungkinan batas kemampuan saya untuk merantau waktu itu. Ya karena Allah lah Yang Maha Mengetahui, tak akan memberikan cobaan pada hambaNya di luar batas kemampuannya. Namun tetap saja, namanya juga pertama kali jauh dari rumah, jauh dari orang tua. Saya mulai mempersiapkan semua hal untuk kebutuhan saya di tanah rantau sedini mungkin. Mulai dari mencari kos, packing barang-barang yang perlu dibawa, pokoknya banyak lah yang harus diurusi. Hingga tibalah hari itu. Hidup di kota orang. Benar saja, beberapa hari di kos baru, tak bisa tidur. Selalu menghitung hari, mananti-nanti datangnya akhir pekan dan ingin cepat pulang. Menangis sendirian waktu awal-awal di perantauan mungkin bukan saya saja yang mengalaminya, pasti kamu juga pernah kan?
Memang seperti ini seharusnya, singa hutan dapat menerkam mangsanya setelah ia tinggalkan sarangnya, anak panah tak akan mengenai sasarannya, jika tak beranjak dari busurnya. Itu berarti untuk mencapai tujuan hidup, kita harus keluar dari zona nyaman dan memperjuangkannya. Sebagai mahasiswa rantau, secara tidak sadar kita mempunyai keunggulan lebih dibandingkan mahasiswa lain yang tinggal di rumah, karena ada beberapa hal yang hanya bisa kamu dapatkan saat menjadi perantau. Tanah perantauan yang tak jarang mempunyai perbedaan budaya, pola pikir masyarakatnya, dan perbedaan kebiasaan akan memberikan pembelajaran bagi kita. Secara umum berikut secuil manfaat yang bisa didapat saat menjadi perantau.
Pertama, melatih kemandirian dan belajar lebih bertanggung jawab. Jika kalian bukan sesorang yang mandiri (seperti saya dulu) sangat disarankan pergi merantau. Setidaknya dengan merantau akan memberikanmu pengalaman untuk lebih mandiri. Saat di rumah mungkin masih mengandalkan orang tua untuk terlibat dalam berbagai masalah, tapi jangan ditanya kalau di tanah rantau kan dikit-dikit gak bisa langsung ke orang tua. Di saat inilah diri kita ditempa untuk menjadi lebih tangguh. Juga suatu hal yang cukup menantang tinggal sendirian dan harus menjaga tanggung jawab yang diberikan orang tua pada kita.
Kedua, belajar lebih mudah beradaptasi dan bertahan hidup, memang awal pergi merantau akan merasa tidak betah, kesepian, danhomesick tingkat dewa. Berada di lingkungan baru kadang tidak mudah bagi sesorang untuk menyesuaikan diri, karena keharusan untuk bertahan jadi akan terbiasa dengan sesuatu yang asing. Sehingga tidak akan terlalu canggung ketika berada dalam situasi baru dan akan lebih mudah beradaptasi. Hal ini juga akan membantu kamu waktu memasuki dunia kerja nanti.
Pergilah merantau untuk mencari kemuliaan karena dalam perjalanan itu ada empat kegunaan; yaitu menghilangkan kesedihan, mendapatkan ilmu, mengagungkan jiwa, dan dapat bergaul dengan orang banyak. (Imam Syafi'i)
Ketiga, mendapatkan banyak teman dan kerabat, memang tepat sekali apa yang disampailan Imam Syafi'i dalam syairnya “Pergilah dengan penuh keyakinan! Niscaya akan engkau temukan pengganti semua yang engkau tinggalkan.” Di kampus kita pasti akan bertemu dengan banyak teman yang sama-sama anak rantau. Maka akan terjalin hubungan yang lebih erat karena merasa senasib dan seperjuangan. Selain itu, di lingkungan baru dengan bertemu dengan banyak orang baru, pasti akan mendapatkan kerabat baru yang terjalin bukan karena darah yang sama melainkan hanya karena jarak yang dekat.
Keempat, menambah pengetahuan dan melatih kemampuan diri. Pernah ada ungkapan “Biasanya jarak jelajah kaki, dan jarak pengetahuan serta jarak pandang mata hati, punya korelasi yang signifikan.” Yup. Mumpung di kota orang kita harus menciptakan kesempatan belajar banyak hal dan menjelajahi banyak tempat. Solo, kota yang tak akan membosankan untuk dijelajahi.
Kelima, kemampuan manajemen diri, sebagai anak rantau sudah seharusnya dapat mengatur waktu, mengatur keuangan, dan mengatur segala kebutuhan sendiri. Karena semua kita lakukan akan serba sendiri jadi harus tahu mengatur waktu kuliah, waktu belajar, mencuci pakaian, membereskan kamar, mengatur keuangan, seberapa bagian untuk makan sehari-hari, belanja kebutuhan pribadi, buku-buku/fotocopy-an materi tugas kuliah, budget untuk main dengan teman dan sebagainya. Jadi kita pasti akan terbiasa memenejemen diri sendiri. Kini saya tahu betapa beruntungnya tinggal di Kota Solo yang segala sesuatunya masih murah meriah. Setidaknya akan lebih mudah mengatur keuangan (dan punya banyak susuk dari uang saku).
Keenam, semakin rindu dan mencintai kampung halaman. Pulang kampung adalah tema yang selalu menyenangkan dalam dunia perantauan. Hal ini akan membuat kita semakin menghargai kesempatan untuk pulang dan berkumpul dengan keluarga maupun orang-orang di lingkungan rumah. Satu hal yang harus diingat, pulang tanpa keberhasilan adalah kegagalan. Totalitas berjuang di perantauan adalah hal wajib. Mumpungmasih di perantauan jangan pernah kita menyia-nyiakan waktu dan perjuangan di tanah rantau.
Sebenarnya bukan seberapa jauh kita merantau, namun tentang bagaimana kita mengambil pembelajaran dari perantauan. Mungkin saya atau kamu, belum sampai ke tempat yang ingin kita tuju. Namun sebenarnya kita berada di tempat yang seharusnya. Hanya nikmati dan syukuri proses belajarnya. Pengalaman merantau saat masa kuliah bisa dijadikan bekal di kehidupan yang akan datang. Maka berbanggalah bagi kalian yang pernah merasakan merantau. Karena tidak semua orang berkesempatan untuk itu. Dan khusus bagi kamu yang sedang kuliah di Solo, apalagi di Psikologi UNS. Nikmatilah waktu-waktumu saat merantau di Solo, karena ada yang pernah bilang "Akan datang waktu di hari nanti saat kamu merasakan gagalmove on dari Solo dan UNS".
Saya (sekarang), seorang wanita, alumni Psikologi UNS, lulus sarjana psikologi 5 tahun 1 bulan, tak bosan menjadi anak rantau (lagi), yang selalu merindukan Solo dan kenangannya. Saya bersyukur pernah berada di kota dengan sejuta alasan untuk kembali.
Berlelah-lelahlah, manisnya hidup terasa setelah lelah berjuang. (Imam Syafi’i)
Ditulis dan direpost oleh :
Dyah Mayasari,
Alumni Psikologi UNS 2009
Visit : lobimesen.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar