Sabtu, 07 Mei 2016

Jadilah Anak Perantauan




Merantau, sebenarnya adalah hal yang lumrah dalam keluarga saya. Hampir semua saudara menjadi perantau di kota orang, bahkan di negeri orang sekalipun. Baik untuk menuntut ilmu ataupun bekerja. Namun, sempat ada ketakutan tersendiri jika memikirkan ketika saya harus pergi merantau nantinya. Apalagi setelah masuk SMA, karena ke mana lagi saya setelah lulus? kalau tidak kuliah ke kota orang atau ke negeri orang.

For your information, saya tinggal di sebuah desa yang masih menerapkan istilah dusun dalam pembagian wilayahnya. Dan dalam satu desa, hampir 50% daerahnya terdiri dari hutan-hutan karet, sawah, kebun serta lahan tak terpakai. Agak sedikit pelosok, namun tetap saja menjadi kampung halaman yang selalu membuat hati rindu untuk kembali. Saya kira sudah cukup jelas gambaran desa saya seperti apa. Jangankan fasilitas pendidikan selevel universitas, di kecamatan kami hanya ada satu SMA negeri dan satu SMA swasta. Untuk alternatif, di kota kecil terdekat dari tempat saya tinggal. Universitas yang ada hanya Sekolah Tinggi negeri berbasis agama Islam, dan universitas swasta berbasis agama kristen. Ada juga universitas lain seperti AKPER atau AKBID, namun tidak berniat meliriknya sejak dulu. Ya begitulah, tidak banyak pilihan, merantau adalah jalan keluarnya.

Sebentar, biar saya jelaskan terlebih dulu mengapa tersimpan ketakutan jika saya diharuskan untuk merantau. Alasan pertama, adalah alasan kesehatan. Saya bukan orang yang kuat secara fisik dan gampang sakit (dulunya). Alasan kedua, saya tidak mudah beradaptasi (dulunya). Sampai masalah tidur pun saya akan kesulitan saat berada di tempat lain selain rumah sendiri. Alasan ketiga adalah saya penakut, minder, pendiam bukan main, dan saya bukan anak yang mandiri (sekali lagi itu dulunya). Sebelumnya saya tidak pernah pergi jauh dari rumah. Sama sekali! Coba saja kalian tebak akan bertahan berapa lama tipe anak seperti saya ini jika harus hidup di perantauan?


Saya (dulu), seorang anak perempuan, pendiam, minder-an, anak mamak, suka bergantung pada orang lain, yang selalu tidak bisa minum es dan tidur malam.


Awalnya merantau mempunyai arti berlayar. Pergi ke negeri orang untuk mencari penghidupan, ilmu dan hal lainnya demi kesejahteraan hidup. Semakin kesini, istilah untuk seseorang yang pergi dari tempat asal dia tumbuh. Baik ke kota atau provinsi lain untuk menjalani kehidupan atau mencari pengalaman pun sudah termasuk dalam merantau. Di dalam benak saya selalu berpikir betapa menakutkannya hidup sendirian di kota dengan segala keasingannya tanpa orang tua ataupun saudara. Hanya membayangkannya saja beribu-ribu kali saya bertanya pada diri sendiri, mampukah saya jika harus jauh dari rumah? Jauh dari orang tua? Melakukan semuanya serba sendiri? Apalagi saya anak perempuan satu-satunya, kasian mamak kalau gak ada yang bantuin di rumah (hanya sebagai alasan pembenaran waktu itu).

Pasti ada yang pernah merasakannya, saat mulai tumbuh dewasa dihinggapi rasa bimbang apakah akan tetap bertumbuh di tempat kita lahir atau berkelana ke tempat lain, memperoleh gelar pendidikan maupun mencari pekerjaan yang lebih baik. Beberapa adat di Indonesia, merantau merupakan suatu kewajiban, namun hanya untuk anak laki-laki. Bagaimana dengan anak perempuan? Jika saya ditanya hal itu sekarang, saya akan menjawab, menurut saya untuk tujuan mencari pengalaman dan ilmu bagi seorang wanita sah-sah saja pergi merantau. Merantau pun sudah menjadi tradisi bagi umat Islam sejak dulu. Menuntut ilmu adalah suatu kewajiban bagi setiap muslim dan muslimah meskipun ilmu itu berada di negeri yang jauh. Bahkan dalam sebuah syair, Imam Syafi’i pernah berkata ciri orang yang berakal dan berbudaya adalah tidak akan tinggal seterusnya di satu tempat. Meninggalkan tempat tinggalnya untuk mengembara, itulah bagian dari istirahatnya.

Oke lah mau tidak mau, suka tidak suka berarti saya harus pergi merantau. Kalau memang begitu, merantau yang jauh sekalian, pikirku. Mulailah saya mencari-cari referensi universitas yang saya inginkan. Balada pendaftaran saya mulai dari jalur PMDK di UNIBRAW Malang dan UNSOED Purwokerto, sayangnya tidak lolos. Kemudian jalur tes masuk di STAN Jakarta, pun tidak lolos. Kesempatan terakhir, tes SNMPTN. Saat memilih universitas mana yang akan menjadi pilihan, saya bingung, sungguh bingung. Bingung bukan karena memilih universitas mana yang memberikan peluang terbesar saya untuk lolos tes. Namun kota mana yang akan saya pilih. Pilihan pun jatuh pada hari terakhir pendaftaran. Entah karena apa, sepertinya saya tiba-tiba asal memilih. Yaitu UNS Surakarta dan jurusannya adalah Psikologi, tidak akan ada yang bisa menebak saya yang hobi matematika masuk jurusan ini. Singkat cerita saya pun diterima, memang sudah takdir kali ya. (Jika kalian familiar dengan istilah-istilah yang saya sebutkan tadi, berarti kita seangkatan).

Kota Surakarta, sekali lagi entah mengapa saya memilih kota ini. Awalnya saya tidak tahu menahu mengenai kota yang lebih dikenal dengan nama Kota Solo itu. Namun tak kenal memang tak sayang, kan? Mari kita lihat sesayang apa saya pada kota ini akhirnya. Kota Solo memang unik, luasnya sih tidak seberapa tapi dikelilingi beberapa kota bagaikan satelit dan Solo-lah pusat satelitnya, antara lain ada Kartasura, Solo Baru, Sukoharjo, dan Palur. Kota Solo terkenal dengan wisata sejarahnya, tak banyak kota di Indonesia yang memiliki kraton. Dan Solo memiliki dua Kraton. Memang keren. Masyarakatnya yang santun, warisan tradisional yang tetap dijaga, kota yang nyaman dan aman untuk ditinggali menjadi image kota Solo.

Meskipun jarak Universitas Sebelas Maret Surakarta hanya 67 KM dari rumah saya, 1 jam lebih 49 menit perjalanan darat menggunakan bus umum. Tidak mungkin saya pulang pergi kampus rumah setiap hari kan? Resmi lah saya menyandang gelar mahasiswa rantau. Jarak yang cukup dekat ini kemungkinan batas kemampuan saya untuk merantau waktu itu. Ya karena Allah lah Yang Maha Mengetahui, tak akan memberikan cobaan pada hambaNya di luar batas kemampuannya. Namun tetap saja, namanya juga pertama kali jauh dari rumah, jauh dari orang tua. Saya mulai mempersiapkan semua hal untuk kebutuhan saya di tanah rantau sedini mungkin. Mulai dari mencari kos, packing barang-barang yang perlu dibawa, pokoknya banyak lah yang harus diurusi. Hingga tibalah hari itu. Hidup di kota orang. Benar saja, beberapa hari di kos baru, tak bisa tidur. Selalu menghitung hari, mananti-nanti datangnya akhir pekan dan ingin cepat pulang. Menangis sendirian waktu awal-awal di perantauan mungkin bukan saya saja yang mengalaminya, pasti kamu juga pernah kan?

Memang seperti ini seharusnya, singa hutan dapat menerkam mangsanya setelah ia tinggalkan sarangnya, anak panah tak akan mengenai sasarannya, jika tak beranjak dari busurnya. Itu berarti untuk mencapai tujuan hidup, kita harus keluar dari zona nyaman dan memperjuangkannya. Sebagai mahasiswa rantau, secara tidak sadar kita mempunyai keunggulan lebih dibandingkan mahasiswa lain yang tinggal di rumah, karena ada beberapa hal yang hanya bisa kamu dapatkan saat menjadi perantau. Tanah perantauan yang tak jarang mempunyai perbedaan budaya, pola pikir masyarakatnya, dan perbedaan kebiasaan akan memberikan pembelajaran bagi kita. Secara umum berikut secuil manfaat yang bisa didapat saat menjadi perantau.

Pertama, melatih kemandirian dan belajar lebih bertanggung jawab. Jika kalian bukan sesorang yang mandiri (seperti saya dulu) sangat disarankan pergi merantau. Setidaknya dengan merantau akan memberikanmu pengalaman untuk lebih mandiri. Saat di rumah mungkin masih mengandalkan orang tua untuk terlibat dalam berbagai masalah, tapi jangan ditanya kalau di tanah rantau kan dikit-dikit gak bisa langsung ke orang tua. Di saat inilah diri kita ditempa untuk menjadi lebih tangguh. Juga suatu hal yang cukup menantang tinggal sendirian dan harus menjaga tanggung jawab yang diberikan orang tua pada kita.

Kedua, belajar lebih mudah beradaptasi dan bertahan hidup, memang awal pergi merantau akan merasa tidak betah, kesepian, danhomesick tingkat dewa. Berada di lingkungan baru kadang tidak mudah bagi sesorang untuk menyesuaikan diri, karena keharusan untuk bertahan jadi akan terbiasa dengan sesuatu yang asing. Sehingga tidak akan terlalu canggung ketika berada dalam situasi baru dan akan lebih mudah beradaptasi. Hal ini juga akan membantu kamu waktu memasuki dunia kerja nanti.

Pergilah merantau untuk mencari kemuliaan karena dalam perjalanan itu ada empat kegunaan; yaitu menghilangkan kesedihan, mendapatkan ilmu, mengagungkan jiwa, dan dapat bergaul dengan orang banyak. (Imam Syafi'i)

Ketiga, mendapatkan banyak teman dan kerabat, memang tepat sekali apa yang disampailan Imam Syafi'i dalam syairnya “Pergilah dengan penuh keyakinan! Niscaya akan engkau temukan pengganti semua yang engkau tinggalkan.” Di kampus kita pasti akan bertemu dengan banyak teman yang sama-sama anak rantau. Maka akan terjalin hubungan yang lebih erat karena merasa senasib dan seperjuangan. Selain itu, di lingkungan baru dengan bertemu dengan banyak orang baru, pasti akan mendapatkan kerabat baru yang terjalin bukan karena darah yang sama melainkan hanya karena jarak yang dekat.

Keempat, menambah pengetahuan dan melatih kemampuan diri. Pernah ada ungkapan “Biasanya jarak jelajah kaki, dan jarak pengetahuan serta jarak pandang mata hati, punya korelasi yang signifikan.” Yup. Mumpung di kota orang kita harus menciptakan kesempatan belajar banyak hal dan menjelajahi banyak tempat. Solo, kota yang tak akan membosankan untuk dijelajahi.

Kelima, kemampuan manajemen diri, sebagai anak rantau sudah seharusnya dapat mengatur waktu, mengatur keuangan, dan mengatur segala kebutuhan sendiri. Karena semua kita lakukan akan serba sendiri jadi harus tahu mengatur waktu kuliah, waktu belajar, mencuci pakaian, membereskan kamar, mengatur keuangan, seberapa bagian untuk makan sehari-hari, belanja kebutuhan pribadi, buku-buku/fotocopy-an materi tugas kuliah, budget untuk main dengan teman dan sebagainya. Jadi kita pasti akan terbiasa memenejemen diri sendiri. Kini saya tahu betapa beruntungnya tinggal di Kota Solo yang segala sesuatunya masih murah meriah. Setidaknya akan lebih mudah mengatur keuangan (dan punya banyak susuk dari uang saku).

Keenam, semakin rindu dan mencintai kampung halaman. Pulang kampung adalah tema yang selalu menyenangkan dalam dunia perantauan. Hal ini akan membuat kita semakin menghargai kesempatan untuk pulang dan berkumpul dengan keluarga maupun orang-orang di lingkungan rumah. Satu hal yang harus diingat, pulang tanpa keberhasilan adalah kegagalan. Totalitas berjuang di perantauan adalah hal wajib. Mumpungmasih di perantauan jangan pernah kita menyia-nyiakan waktu dan perjuangan di tanah rantau.

Sebenarnya bukan seberapa jauh kita merantau, namun tentang bagaimana kita mengambil pembelajaran dari perantauan. Mungkin saya atau kamu, belum sampai ke tempat yang ingin kita tuju. Namun sebenarnya kita berada di tempat yang seharusnya. Hanya nikmati dan syukuri proses belajarnya. Pengalaman merantau saat masa kuliah bisa dijadikan bekal di kehidupan yang akan datang. Maka berbanggalah bagi kalian yang pernah merasakan merantau. Karena tidak semua orang berkesempatan untuk itu. Dan khusus bagi kamu yang sedang kuliah di Solo, apalagi di Psikologi UNS. Nikmatilah waktu-waktumu saat merantau di Solo, karena ada yang pernah bilang "Akan datang waktu di hari nanti saat kamu merasakan gagalmove on dari Solo dan UNS".

Saya (sekarang), seorang wanita, alumni Psikologi UNS, lulus sarjana psikologi 5 tahun 1 bulan, tak bosan menjadi anak rantau (lagi), yang selalu merindukan Solo dan kenangannya. Saya bersyukur pernah berada di kota dengan sejuta alasan untuk kembali.


Berlelah-lelahlah, manisnya hidup terasa setelah lelah berjuang. (Imam Syafi’i)

Ditulis dan direpost oleh :
Dyah Mayasari,
Alumni Psikologi UNS 2009 

Visit : lobimesen.com

Minggu, 01 Mei 2016

Bali. Things to Do (Bag. 3)


Pernah di malam kedua kami jalan-jalan malam sebentar di sekitaran hotel, mencari indomaret. Sepanjang jalan Kuta memang ramai, banyak wisatawan lokal maupun bule-bule yang seliweran. Tempat yang tidak pernah mati. Dengan pemandangan yang kanan kirinya toko souvenir, restoran seafood dan bar ataupun diskotik. Apalagi daerah Legian, bahkan banyak orang yang joged-joged di pinggir jalan. Duh, duuh ini bukan tempat kami. Hahaa

Yang juga menjadi perhatian saya, hampir semua toko di sana lebih banyak didominasi dengan merk-merk luar negeri seperti Quicksilver, RipCurl, Roxy, Point Break, Billabong, Mooks, D&G dan lainnya. Memang, mereka merk internasional yang terkenal di dunia sehingga sudah mendapat kepercayaan dari pengunjung yang kebanyakan wisatawan mancanegara. 

Namun ini sebenarnya menjadi pangsa pasar yang empuk bagi merk dalam negeri untuk show off. Kalau dilihat lagi, produk-produk dalam negeri hanya merajai wisatawan dalam negeri dengan pusat oleh-olehnya yang murah. Bahkan pabrik kata-kata sebesar Joger hanya diminati oleh wisatawan domestik. Seharusnya penggerak ekonomi Bali bisa membatasi merambahnya merk-merk luar negeri dengan meningkatkan distro, pusat perbelanjaan, produk-produk made in Indonesia. Pasti tidak mudah, tapi tidak mustahil, kan? 

***

Hari terakhir di Bali kami tak mau ketinggalan momen-momen berharga di sana. Kami bangun lebih pagi, 2 teman saya langsung berenang. Karena tidak bisa berenang saya memilih untuk packing dan mandi. Juga foti-foto. Hahaha

Hotel Kami Menginap

Setelah semua mandi dan sarapan, kami menuju Discovery Shopping Mall yang hanya berjarak 100 meter dari hotel kami. Mall yang terletak di bibir pantai, salah satu pusat perbelanjaan terbesar di Bali. Niat awal memang tidak ingin belanja hanya ingin ke mall pantainya yang terkenal itu.

Discovery Shopping Mall
Hal yang paling unik di sini. Saat ke bagian belakang mall akan kalian akan menjumpai pantai. Duduk santai di sini juga pilihan yang menarik.

Belakang Discovery Shopping Mall

Saat berada di sana, jalanan Kuta sedang ditutup karena ada arak-arakan upacara Ngaben. Baru saya lihat dengan mata kepala sendiri dan “oh, memang wajar kalau jadi upacara mahal”. Arak-arakan yang sangat panjang, baju yang serupa untuk seluruh keluarga, dan sajen yang sangat banyak.

Arak-arakan Upacara Ngaben
Siang hari sebelum jam 12.00 WITA kami kembali ke hotel untuk check out. Makan siang kami ingin ke Bale Udang Mang Engking. Katanya, udang madunya sangat yummy (tapi memang benar). Berhubung hujan sangat lebat kami di Bale Udang cukup lama. Menikmati udang madu bakar di balai di atas danau buatan ditemani hujan. Maka, niknat Tuhan manakah yang kamu duatakan? Luar biasa nikmatnya.

Penerbangan pulang kami pukul 18.45 WITA. Selesai makan pukul 15.00 WITA. Menunggu waktunya boarding kami jalan-jalan dulu mencari makanan khas Bali. Salah satunya Pia Legong. Oleh-oleh dari Bali yang cukup terkenal. Laris banget. Counternya hanya satu, berada di Jalan By Pass Ngurah Rai. Pembeli harus antri untuk mendapatakannya dan maksimal membeli 2 kotak per orang.

Hujan yang cukup lebat membuat jalanan di kota Kuta tergenang air cukup tinggi dan membuat macet. Untung kami sampai di bandara tepat waktu, pukul 17.30 WITA taksi merapat di depan bandara. Tiba di bandara dengan backsound alunan alat musik tradisional Bali membuatku yakin, tempat ini akan membuatku kangen. Semoga kembali kesana suatu saat nanti.

Mungkin perjalanan kali ini cukup mainstream dengan objek wisata kedua kalinya saya kunjungi, tapi tetep seru. Selain tempat-tempat yang telah saya sebutkan, Bali masih punya banyak tempat yang menarik untuk dikunjungi.

Sekian. Sampai jumpa di cerita yang ceritanya jalan-jalan selanjutnya yaa! Hahaa
Salam.

Bali. Things to Do (Bag. 2)



Masih dengan saya dan Bali. Perjalanan hari kedua menuju Bali wilayah barat. Kalau kemaren selalu ke pantai, hari ini akan banyak bertemu dengan sawah, gunung dan danau. Destinasi pertama kami menuju daerah Bedugul, ke Pura Ulun Danu Beratan. Pura yang indah, di pinggir danau Beratan, terkenal sebagai objek gambar di uang 50rb an.

Air Danau Beratan Agak Surut
Jarak dari Kuta menuju Bedugul menghabiskan waktu kira-kira 1 jam 40 menit, jadi kami berangkat lebih pagi. Kami tiba tepat ketika gerbang tiket Ulun Danu dibuka, pukul 09.00 WITA. Namun tempat itu sudah ramai. Kelihatannya akan diadakan upacara keagamaan di sana. Di Pura Ulun Danu ini terdapat candi-candi dan tentu saja pura yang masih secara rutin digunakan umat Hindu di Bali untuk melaksanakan upacara keagamaan. 

Salah satu yang menarik di Bali itu adat budayanya dan agama Hindu yang menyatu. Menjadi keunikan tersendiri. Pun ketika saya melihat sendiri upacara yang mereka adakan pagi itu. Namun sayangnya saya tidak mencari tahu upacara apa yang sedang mereka lakukan. Jadi cuman nonton aja deh.

Upacaa Keagamaan di Pinggir Danau Beratan Pura Ulun Danu
Agak lama kami menikmati pemandangan danau, pegunungan dan pura dalam satu kedipan mata ini. Membayar perjalanan kami yang cukup panjang. Suasana daerah disini mirip seperti daerah Tawangmangu, Karanganyar. Asri, dingin, dan hijau. 
Taman sekitar Danau Beratan
Puas berkeliling, selanjutnya kami menuju Jogger Bedugul. Meski sudah membeli oleh-oleh, tapi tempat ini pengecualian. Karena rasanya sudah seperti kewajiban saja, kalau ke Bali ya ke Jogger. Setidaknya mampir sebagai fomalitas lah

Perjalanan pulang sengaja kami melewati rute yang tidak biasanya, menuju Denpasar. Hanya ingin berburu kuliner. Setelah muter-muter sebentar di “alun-alun”nya Bali kami makan di tempat makannya mahasiswa dekat Universitas Udayana. 

Ayam Kremes Cak Iwan. Menurut blog kuliner yang saya baca, dari berbagai kuliner di Bali makanan ini mendapat rating yang cukup tinggi. Artinya, makanan di sana enak. Ayam ungkep yang digoreng disajikan dengan kremesan, sambel ijo, lalapan dan nasi panas itu mengingatkan saya pada warung Ayam Kremes Pak Man di belakang Kampus Kentingan, Solo. Persis banget rasanya. Duh, seketika kangen Solo. 

Sepanjang jalan pulang, cuaca sedikit tidak bersahabat, hujan cukup deras. Sesorean kami hanya berkeliling kota, melihat-lihat dari mobil hingga hampir petang. Perjalanan kembali ke Kuta sekitar 20 menit. Karena sore sudah makan kami memutuskan untuk tidak makan malam. Jadi kami langsung pulang ke hotel. 

Malam ini perpisahan dengan mas supir yang mengantar kami. Besok kami memutuskan untuk tidak menyewa mobil karena ingin menikmati fasilitas hotel, berjalan-jalan sekitat hotel dan nyicip-nyicip makanan di sekitar sana.

To be continued.