“Friends are family that we choose.”
Kalian pasti punya sahabat kan? Entah itu sahabat saat masih sekolah, sahabat sewaktu kuliah atau sahabat di tempat kerja. Sahabatan sejak kecil hingga dewasa, ataupun dari sahabat jadi cinta dan bisa juga dari cinta jadi sahabat. Dan aku pernah punya semuanya, eh, sudahlah.
Bagi kalian yang belum punya sahabat, yang menganggap mempunyai sahabat itu tidak penting, yang menganggap dirimu bisa melalui semua yang terjadi sendirian, yang menganggap tanpa adanya orang lain kamu tak kan kesepian. Hellooo. Hidup ini terlalu indah untuk dinikmati sendirian, bung.
ROEMPI. Nama yang tidak sengaja mampir sebagai nama perkumpulan ukhti-ukhti tanggung kesayanganku. Kami sebenarnya tidak mengeklusifkan diri dengan memberi nama group, awalnya itu hanya nama group WA yang easy listening sehingga jadi kebiasaan menyebut kami, ROEMPI. Sebagai kawula muda, katanya nggak bisa dibilang eksis kalau nggak punya peer group-nya sendiri. Nah, mungkin di sini kami melengkapi tahap perkembangan kehidupan.
ROEMPI secara resmi beranggotakan delapan orang. Kami memang dipertemukan karena satu jurusan kuliah, yaitu Psikologi UNS. Jadi bisa dibilang kami telah bersama selama lebih dari 6 tahun. Meski sekarang telah banyak kesibukan masing-masing dan telah memiliki dunia baru setidaknya kami masih bisa bertegur sapa melalui dunia maya. Yaa begitulah media sosial, menjadi fungsi yang seharusnya, mendekatkan yang jauh.
Dalam bersahabat pun saya percaya akan prinsip jodoh. Kalau memang sudah seharusnya bertemu ya pasti akan bertemu. Seperti kami, meski satu jurusan coba kita lihat satu persatu betapa prinsip jodoh itu begitu luar biasa dan terkadang membuat terheran-heran.
Psikologi UNS 2009, dan sexta virtus. Cerita berawal dari sini.
Pertama dari sahabat yang paling jauh asal muasalnya. RIZKA ARUM PUTRI PERTIWI. Gadis yang lahir 24 tahun silam ini berasal dari Kota Palembang, paling muda dan paling tinggi diantara kami. Lama tinggal di Palembang meski orang tuanya asli orang Jawa. Bagaimana pun jalan ceritanya, Arum, panggilan sayangnya, harus kembali ke kota tempat Ibunya berasal yaitu Solo dan itu pas ketika lulus SMA. Mau nggak mau, suka nggak suka, Arum harus kuliah di Jawa dan UNS lah pilihannya.
Kedua, UMI MASRININGSIH. Setelah lulus SMA, sebenarnya Umi sudah mengadu nasib beberapa tahun di Jakarta. Sahabat yang mempunyai ketertarikan di bidang yang sama denganku, di dunia kepalangmerahan ini, entah ada angin apa memutuskan untuk berhenti kerja dan mendaftar seleksi SNMPTN. Mungkin karena eman-eman kepinterannya. Dari beratus-ratus universitas negeri di Indonesia dia memilih UNS dan Psikologi. Padahal, di kota asalnya, Purwokerto ada universitas negeri yang cukup unggul. Kenapa harus Solo dan kenapa harus UNS? Ya begitulah jodoh.
Selanjutnya, DIAN EKARINI. Kalau Dian memang warga asli Solo, tepatnya Solo ngulon sitik, yaitu Sukoharjo. Tidak heran, dia sejak awal berniat masuk UNS. Dian lah yang sejak hari pertama OSMARU, sebutan masa orientasi Psikologi, bersebelahan dengan saya. Dari puluhan mahasiswa baru di Psikologi UNS kenapa Dian yang ada di sebelah saya? Sekali lagi, namanya jodoh. Sejak saat itu kami berdua kemana-mana bersama, sudah kayak anak kembar gitu. Dan sekarang, teman seperjuanganku ini sudah menyandang status yang diidamkan banyak wanita, yaitu calon ibu.
Keempat, INDARTI atau lebih sering dipanggil Iin alias Uun alias Uun Cilikimut. Sesuai dengan panggilannya, Iin paling mini diantara kami semua, eh tapi jangan diragukan semangatnya, lebih kuat dari batrai alkaline. Sama halnya dengan Umi, Iin sudah pernah bekerja setelah lulus sekolah. Oh iya, dia berasal dari Ambarawa, kota kecil sebelah utara Rawa Pening, 30 menit dari rumahku. Kota kami agak tetanggaan memang. Kami mulai dekat saat bersama-sama di salah satu biro organisasi HIMAPSI (Himpunan Mahasiswa Psikologi). Sejak itulah bertambah Iin dalam lingkaran kami.
Kelima, VERA ANGGRAINI PUSPITASARI, berasal dari Blitar. Mantan mahasiswa teknik salah satu universitas negeri di timur Jawa. Kisahnya agak panjang sih, kapan-kapan aja ceritanya. Yang mendekatkan kami karena dia satu kos dengan Umi dan Dian, yah begitu teman senasib berkumpul solidnya memang tidak ada duanya. Meski banyak pendingnya, akhirnya Vera sampai ke tahap akhir menjadi mahasiswa. Juga salah satu sahabat yang jodohnya cepet banget. Baru saja menikah tapi harus LDRan gara-gara doi belum lulus. Makanya ndang lulus, Ver.
Keenam, DIANDRA JANISTRI WINDYASARI. Diandra sama galaunya dengan Vera, pernah kuliah sampai semester 4 di salah satu sekolah tinggi di Jogja. Bayangkan, setelah 2 tahun baru sadar kalau jurusan yang dia ambil tidak sesuai dengan dirinya. Pacaran 2 tahun putus aja sakitnya minta ampun, gimana rasanya salah jurusan ya? Okelah, salah jurusan yang kebablasan ini termaafkan karena akhirnya Diandra lulus dari Psikologi UNS tepat waktu dan cumlaude pula. *tepuk tangan* Kami mulai sering berkumpul sejak semester tengah-tengah. Karena suatu hal, kami menjadi penampung keluh kesah Diandra, begitulah hubungan kami mengalir begitu saja.
Terakhir, PRITA RATNA NINGTYAS. Gadis asal Klaten yang dari awal saat aku melihatnya seperti berkaca. Sama-sama jenongnya. Cah bakoh satu ini tidak diragukan lagi perjuangannya. Dari pertama kenal pun sudah ketara orangnya keras dan punya prinsip. Meskipun jadi personel terakhir yang bergabung bersama kami, seperti Diandra, hubungan kami mengalir begitu saja. Dia satu-satunya orang yang aku telpon malem-malem untuk minta pendapat masalah asmara. #tsaah
Dan saya sendiri, pasti takdir yang membawaku ke Solo, soalnya aku sendiri nggak yakin, apa sebenarnya yang mendasariku memilih UNS. Terjadi begitu saja.
Merekalah ROEMPI, selama 5 tahun di perantauan menemaniku. Bersama mereka aku mengenal berbagai warna warni pelangi. Dari berdelapan, saat ini aku sendiri yang berada di luar kota. Mungkin mereka semua belum saatnya move on dari kota kecil nan indah itu. Atau malah semakin terpaut. Bagaimana tidak, kalau Arum dan Dian memang tinggal disana, sedangkan Diandra dan Prita malah dapet kerja di Solo. Dan lagi, Umi malah diminta jadi penunggu rumah di Sragen yang tidak terlalu jauh dari Solo. Nah, Iin agak mirip denganku. Harus punya “modus” untuk berkunjung ke kota yang menyimpan sejuta alasan untuk kembali itu.
Bagaimana pun, aku selalu merindukan untuk berkumpul bersama mereka. Berada di antara sahabat selalu punya cerita tersendiri. Meski hanya cekikikan nggak jelas, membahas hal-hal nggak penting, bertingkah absurd, atau pun hanya sekedar foto sana foto sini. Entah akan kemana kita kelak, menjadi apa nantinya, mereka lah keluarga yang aku pilih. So glad to have you as my friend, guys.