Kamis, 14 Januari 2016

Sahabat adalah Keluarga yang Kita Pilih




“Friends are family that we choose.”

Kalian pasti punya sahabat kan? Entah itu sahabat saat masih sekolah, sahabat sewaktu kuliah atau sahabat di tempat kerja. Sahabatan sejak kecil hingga dewasa, ataupun dari sahabat jadi cinta dan bisa juga dari cinta jadi sahabat. Dan aku pernah punya semuanya, eh, sudahlah. 

Bagi kalian yang belum punya sahabat, yang menganggap mempunyai sahabat itu tidak penting, yang menganggap dirimu bisa melalui semua yang terjadi sendirian, yang menganggap tanpa adanya orang lain kamu tak kan kesepian. Hellooo. Hidup ini terlalu indah untuk dinikmati sendirian, bung. 

ROEMPI. Nama yang tidak sengaja mampir sebagai nama perkumpulan ukhti-ukhti tanggung kesayanganku. Kami sebenarnya tidak mengeklusifkan diri dengan memberi nama group, awalnya itu hanya nama group WA yang easy listening sehingga jadi kebiasaan menyebut kami, ROEMPI. Sebagai kawula muda, katanya nggak bisa dibilang eksis kalau nggak punya peer group-nya sendiri. Nah, mungkin di sini kami melengkapi tahap perkembangan kehidupan. 

ROEMPI secara resmi beranggotakan delapan orang. Kami memang dipertemukan karena satu jurusan kuliah, yaitu Psikologi UNS. Jadi bisa dibilang kami telah bersama selama lebih dari 6 tahun. Meski sekarang telah banyak kesibukan masing-masing dan telah memiliki dunia baru setidaknya kami masih bisa bertegur sapa melalui dunia maya. Yaa begitulah media sosial, menjadi fungsi yang seharusnya, mendekatkan yang jauh. 

Dalam bersahabat pun saya percaya akan prinsip jodoh. Kalau memang sudah seharusnya bertemu ya pasti akan bertemu. Seperti kami, meski satu jurusan coba kita lihat satu persatu betapa prinsip jodoh itu begitu luar biasa dan terkadang membuat terheran-heran. 

Psikologi UNS 2009, dan sexta virtus. Cerita berawal dari sini.

Pertama dari sahabat yang paling jauh asal muasalnya. RIZKA ARUM PUTRI PERTIWI. Gadis yang lahir 24 tahun silam ini berasal dari Kota Palembang, paling muda dan paling tinggi diantara kami. Lama tinggal di Palembang meski orang tuanya asli orang Jawa. Bagaimana pun jalan ceritanya, Arum, panggilan sayangnya, harus kembali ke kota tempat Ibunya berasal yaitu Solo dan itu pas ketika lulus SMA. Mau nggak mau, suka nggak suka, Arum harus kuliah di Jawa dan UNS lah pilihannya.

Kedua, UMI MASRININGSIH. Setelah lulus SMA, sebenarnya Umi sudah mengadu nasib beberapa tahun di Jakarta. Sahabat yang mempunyai ketertarikan di bidang yang sama denganku, di dunia kepalangmerahan ini, entah ada angin apa memutuskan untuk berhenti kerja dan mendaftar seleksi SNMPTN. Mungkin karena eman-eman kepinterannya. Dari beratus-ratus universitas negeri di Indonesia dia memilih UNS dan Psikologi. Padahal, di kota asalnya, Purwokerto ada universitas negeri yang cukup unggul. Kenapa harus Solo dan kenapa harus UNS? Ya begitulah jodoh. 

Selanjutnya, DIAN EKARINI. Kalau Dian memang warga asli Solo, tepatnya Solo ngulon sitik, yaitu Sukoharjo. Tidak heran, dia sejak awal berniat masuk UNS. Dian lah yang sejak hari pertama OSMARU, sebutan masa orientasi Psikologi, bersebelahan dengan saya. Dari puluhan mahasiswa baru di Psikologi UNS kenapa Dian yang ada di sebelah saya? Sekali lagi, namanya jodoh. Sejak saat itu kami berdua kemana-mana bersama, sudah kayak anak kembar gitu. Dan sekarang, teman seperjuanganku ini sudah menyandang status yang diidamkan banyak wanita, yaitu calon ibu. 

Keempat, INDARTI atau lebih sering dipanggil Iin alias Uun alias Uun Cilikimut. Sesuai dengan panggilannya, Iin paling mini diantara kami semua, eh tapi jangan diragukan semangatnya, lebih kuat dari batrai alkaline. Sama halnya dengan Umi, Iin sudah pernah bekerja setelah lulus sekolah. Oh iya, dia berasal dari Ambarawa, kota kecil sebelah utara Rawa Pening, 30 menit dari rumahku. Kota kami agak tetanggaan memang. Kami mulai dekat saat bersama-sama di salah satu biro organisasi HIMAPSI (Himpunan Mahasiswa Psikologi). Sejak itulah bertambah Iin dalam lingkaran kami. 

Kelima, VERA ANGGRAINI PUSPITASARI, berasal dari Blitar. Mantan mahasiswa teknik salah satu universitas negeri di timur Jawa. Kisahnya agak panjang sih, kapan-kapan aja ceritanya. Yang mendekatkan kami karena dia satu kos dengan Umi dan Dian, yah begitu teman senasib berkumpul solidnya memang tidak ada duanya. Meski banyak pendingnya, akhirnya Vera sampai ke tahap akhir menjadi mahasiswa. Juga salah satu sahabat yang jodohnya cepet banget. Baru saja menikah tapi harus LDRan gara-gara doi belum lulus. Makanya ndang lulus, Ver.

Keenam, DIANDRA JANISTRI WINDYASARI. Diandra sama galaunya dengan Vera, pernah kuliah sampai semester 4 di salah satu sekolah tinggi di Jogja. Bayangkan, setelah 2 tahun baru sadar kalau jurusan yang dia ambil tidak sesuai dengan dirinya. Pacaran 2 tahun putus aja sakitnya minta ampun, gimana rasanya salah jurusan ya? Okelah, salah jurusan yang kebablasan ini termaafkan karena akhirnya Diandra lulus dari Psikologi UNS tepat waktu dan cumlaude pula. *tepuk tangan* Kami mulai sering berkumpul sejak semester tengah-tengah. Karena suatu hal, kami menjadi penampung keluh kesah Diandra, begitulah hubungan kami mengalir begitu saja. 

Terakhir, PRITA RATNA NINGTYAS. Gadis asal Klaten yang dari awal saat aku melihatnya seperti berkaca. Sama-sama jenongnya. Cah bakoh satu ini tidak diragukan lagi perjuangannya. Dari pertama kenal pun sudah ketara orangnya keras dan punya prinsip. Meskipun jadi personel terakhir yang bergabung bersama kami, seperti Diandra, hubungan kami mengalir begitu saja. Dia satu-satunya orang yang aku telpon malem-malem untuk minta pendapat masalah asmara. #tsaah

Dan saya sendiri, pasti takdir yang membawaku ke Solo, soalnya aku sendiri nggak yakin, apa sebenarnya yang mendasariku memilih UNS. Terjadi begitu saja. 

Merekalah ROEMPI, selama 5 tahun di perantauan menemaniku. Bersama mereka aku mengenal berbagai warna warni pelangi. Dari berdelapan, saat ini aku sendiri yang berada di luar kota. Mungkin mereka semua belum saatnya move on dari kota kecil nan indah itu. Atau malah semakin terpaut. Bagaimana tidak, kalau Arum dan Dian memang tinggal disana, sedangkan Diandra dan Prita malah dapet kerja di Solo. Dan lagi, Umi malah diminta jadi penunggu rumah di Sragen yang tidak terlalu jauh dari Solo. Nah, Iin agak mirip denganku. Harus punya “modus” untuk berkunjung ke kota yang menyimpan sejuta alasan untuk kembali itu.

Bagaimana pun, aku selalu merindukan untuk berkumpul bersama mereka. Berada di antara sahabat selalu punya cerita tersendiri. Meski hanya cekikikan nggak jelas, membahas hal-hal nggak penting, bertingkah absurd, atau pun hanya sekedar foto sana foto sini. Entah akan kemana kita kelak, menjadi apa nantinya, mereka lah keluarga yang aku pilih. So glad to have you as my friend, guys.

Jumat, 01 Januari 2016

Januari(ku) ke-25



Iseng, tulisan ini saya buat di hari-hari terakhir tahun 2015, entah mengapa ingin sekali menuliskan sesuatu menjelang tahun baru yang otomatis beberapa hari setelahnya (insya Allah) usia saya menginjak 25 tahun. Kebanyakan perempuan seusia saya dan belum menikah apalagi belum ada pandangan bahkan jalan masih gelap untuk bertemu seseorang yang diberi nama “jodoh”, akan mulai risau.

Memang usia 24-25 tahun di Indonesia biasanya usia yang dianggap sudah matang dan ideal untuk menikah. Menurut orang Jawa, usia 25 tahun pun memiliki arti filosofis yang istimewa. Cara penyebutan angka 25 yang berbeda dari angka lainnya, dalam bahasa Jawa disebut “selawe” ternyata mempunyai singkatan tersembunyi yaitu “SEneng LAnang WEdok”. Bukannya sok tahu, menurut hemat saya, orang Jawa yang hobby niteni dan ngepas-ngepasin segala sesuatu akhirnya menunculkan istilah tersebut. Kurang lebih berarti di usia 25 tahun seseorang seharusnya sudah menemukan tambatan hati. 

So, bagi kamu yang sudah menginjak usia seperempat abad namun belum mempunyai pasangan, tidak ada salahnya agak sedikit waspada. Bukan apa-apa, kalau dilihat menurut fase tumbuh kembang di usia ini seseorang biasanya sudah memasuki dunia kerja dan merintis karir. Alih-alih bertemu dengan jodoh, bagi yang terlena malah sibuk bekerja dan tahu-tahu usia sudah beranjak menua, kan repot. Begitulah, untuk saya sendiri, orang-orang di sekitar saya yang malah jadi agak repot-biasa lah pemikiran keluarga orang Jawa. 

“Jodoh, rejeki dan maut sudah diatur sama Allah, jadi santai aja lah.” Kalimat yang selalu saya sampaikan jika ada yang bilang, “Usiamu sudah waktunya menikah, lek ndang.” Dan tak sedikit yang berusaha mengenalkan dengan si ini lah si itu lah, termasuk mamak-e malah sibuk milih-milih. Seandainya mereka tahu, membuka hati tak semudah membuka daun pintu, beh

Saya seorang perempuan yang tumbuh dengan mengedepankan logika perasaan (daripada logika berpikir), meyakini bahwa pasangan itu harus klik di hati, dan klop dalam aksi. Bukan kapok loh ya, karena memang tidak hanya sekali saya merasakan jatuh tersungkur oleh hati yang perih, tapi kalau mau dihitung bisa jadi dua kali. 

Dan juga bukan karena tak ingin. Terkadang pun terlintas di benak bagaimana jika kelak hati ini akhirnya terpaut oleh seorang pria bersahaja dan membangun rumah tangga. Setiap hari akan menjadi rutinitas memasak sarapan sebelum dia pergi bekerja, menyiapkan bekal untuk makan siangnya di kantor dan berangkat bekerja bersama. Apalagi jika nanti kita sudah punya anak pasti akan ada rutinitas yang lebih berbeda, dan merasakan bagaimana syahdunya mendengar panggilan “ayah” “ibu” dari anak kita.

Ngomong-ngomong soal hati, hmm. You know, time passes so quickly. Memang sudah lima tahun berlalu namun masih jelas dalam ingatan. Awalnya tak pernah saya duga dia menyampaikan hal tersebut secepat itu. Ya, cinta pertamaku. Dengannya saya yang berusia 20 tahun baru benar-benar merasakan menyukai seseorang. Pria sederhana yang dari awal saya yakin kelak akan menjadi orang hebat. 

Kehadirannya dengan ketulusan dan kelembutan hati sebenarnya sudah cukup sempurna untuk meyakinkan perempuan namun saat itu saya terlalu sulit untuk dicintai dan untuk diyakinkan. Saya yang terlalau naif untuk mengaku cinta, terlalu diam untuk mengungkapkan apa yang diinginkan dan terlalu pintar menyembunyikan perasaan mungkin membuatnya kewalahan. Apa daya, terkadang bisa saja nahkoda memutuskan memutar balik perahunya karena cuaca dan ombak tidak memungkinkan untuk berlayar. 

Tidak sadar, perpisahan yang saya anggap karena perubahan sikapnya ternyata saya yang menyebabkan semuanya. Dia menyerah untuk meyakinkan saya lagi. Meskipun pernah diam seribu bahasa, kapan pun itu saya tidak pernah benar-benar membenci dia yang pernah mewarnai hidup saya dan ikut andil membentuk diri saya. Hanya saja cintanya datang di waktu yang belum tepat, namanya bukan jodoh. Saya sudah memaafkannya, dan saya tahu pasti dia selalu memaafkan saya. Semoga dia berbahagia dengan masa depannya. 

Memaafkan (itu harus) tapi tidak melupakan (agar jadi pelajaran dan tidak terulang lagi), kata Darwis Tere Liye. Salah satu penulis favorit saya itu juga pernah pula menulis begini, “Perempuan yang patah hati, kemudian dia bisa mengobati lukanya (meski susah payah). Maka dia tidak pernah sama lagi seperti yang dulu kita kenal. Dia telah berubah menjadi perempuan yang lebih tangguh, lebih kuat dan lebih mandiri.” 

Meskipun untuk pulih membutuhkan waktu yang tidak sebentar, bahkan ada yang mengibaratkannya main bola, saya pernah mencoba turun ke lapangan sedang cedera masih belum sembuh. Dan benar, itu sama saja akan memperparah cedera. Saya terpaksa keluar lapangan bahkan sebelum half time. Bukannya ingin sombong (dengan muka congkak), siapapun yang mengenal saya pasti akan tahu perbedaan pada diri saya, paling tidak saya menjadi sedikit lebih menyenangkan. 

Kembali lagi soal 25 dan jodoh. Tema mengenai jodoh memang selalu hangat untuk dibicarakan (terutama untuk para SINGLE). Bukan berarti saat berusia 25 tahun harus segera bertemu jodoh dan menikah, toh tidak ada yang mewajibkannya, kan? Bahkan saat ini saya belum tahu pasti sudahkah saya siap mencintai dan dicintai seorang pria dengan baik. 

Namun saya sadar, setidaknya dari sekarang harus bersiap-siap. Bersiap memperbaiki diri. Sesuatu yang terbaik didapatkan bukan serta merta begitu saja, harus ada upaya dan doa. Itu yang selalu terngiang di kepala akhir-akhir ini. Mana mungkin saya bisa mendambakanmu yang taat agama dan mengutamakan sholat tepat waktu sedangkan saya sendiri masih sering menunda waktu sholat. Mana mungkin saya bisa dicintai dengan baik bahkan untuk mencintai diri sendiri saja kadang saya lupa. Mana bisa saya mendidik anak-anak kita nanti sedangkan untuk mengendalikan diri saja masih kewalahan. Mana mampu saya berbakti pada orang tuamu sedangkan pada orang tua sendiri saja terkadang masih membantah. Malu. 

Memperbaiki diri, upaya terbaik memperjuangkan jodoh untuk saat ini.

Sebenarnya sejak dulu tidak terlalu menaruh arti khusus pada pergantian tahun. Namun kali ini saya ingin menyampaikan, selamat datang 2016, selamat bertemu lagi Januari. 

Dan untukmu, jodohku. Tidak akan saya menggebu-gebu untuk menemukanmu. Dalam diam saya akan berlari, dalam diam saya akan bernyanyi, hingga nanti kita dipertemukan karena satu alasan. DIA punya rencana yang lebih indah dari yang kita bayangkan. Meski, saya tidak tahu seberapa jauh jarak antara kita. Meski, hingga hari ini mungkin saja masih orang lain yang ada dalam hatimu, masih orang lain yang kau bayangkan senyumnya. Meski, saya tidak bisa menerka seberapa mirip atau seberapa beda engkau denganku. Namun jodoh tetaplah jodoh, bagiNya, apapun itu apabila sudah berkehendak terjadi maka terjadilah. 

(Kab. Semarang, 1 Januari 2016)