Jumat, 01 Januari 2016

Januari(ku) ke-25



Iseng, tulisan ini saya buat di hari-hari terakhir tahun 2015, entah mengapa ingin sekali menuliskan sesuatu menjelang tahun baru yang otomatis beberapa hari setelahnya (insya Allah) usia saya menginjak 25 tahun. Kebanyakan perempuan seusia saya dan belum menikah apalagi belum ada pandangan bahkan jalan masih gelap untuk bertemu seseorang yang diberi nama “jodoh”, akan mulai risau.

Memang usia 24-25 tahun di Indonesia biasanya usia yang dianggap sudah matang dan ideal untuk menikah. Menurut orang Jawa, usia 25 tahun pun memiliki arti filosofis yang istimewa. Cara penyebutan angka 25 yang berbeda dari angka lainnya, dalam bahasa Jawa disebut “selawe” ternyata mempunyai singkatan tersembunyi yaitu “SEneng LAnang WEdok”. Bukannya sok tahu, menurut hemat saya, orang Jawa yang hobby niteni dan ngepas-ngepasin segala sesuatu akhirnya menunculkan istilah tersebut. Kurang lebih berarti di usia 25 tahun seseorang seharusnya sudah menemukan tambatan hati. 

So, bagi kamu yang sudah menginjak usia seperempat abad namun belum mempunyai pasangan, tidak ada salahnya agak sedikit waspada. Bukan apa-apa, kalau dilihat menurut fase tumbuh kembang di usia ini seseorang biasanya sudah memasuki dunia kerja dan merintis karir. Alih-alih bertemu dengan jodoh, bagi yang terlena malah sibuk bekerja dan tahu-tahu usia sudah beranjak menua, kan repot. Begitulah, untuk saya sendiri, orang-orang di sekitar saya yang malah jadi agak repot-biasa lah pemikiran keluarga orang Jawa. 

“Jodoh, rejeki dan maut sudah diatur sama Allah, jadi santai aja lah.” Kalimat yang selalu saya sampaikan jika ada yang bilang, “Usiamu sudah waktunya menikah, lek ndang.” Dan tak sedikit yang berusaha mengenalkan dengan si ini lah si itu lah, termasuk mamak-e malah sibuk milih-milih. Seandainya mereka tahu, membuka hati tak semudah membuka daun pintu, beh

Saya seorang perempuan yang tumbuh dengan mengedepankan logika perasaan (daripada logika berpikir), meyakini bahwa pasangan itu harus klik di hati, dan klop dalam aksi. Bukan kapok loh ya, karena memang tidak hanya sekali saya merasakan jatuh tersungkur oleh hati yang perih, tapi kalau mau dihitung bisa jadi dua kali. 

Dan juga bukan karena tak ingin. Terkadang pun terlintas di benak bagaimana jika kelak hati ini akhirnya terpaut oleh seorang pria bersahaja dan membangun rumah tangga. Setiap hari akan menjadi rutinitas memasak sarapan sebelum dia pergi bekerja, menyiapkan bekal untuk makan siangnya di kantor dan berangkat bekerja bersama. Apalagi jika nanti kita sudah punya anak pasti akan ada rutinitas yang lebih berbeda, dan merasakan bagaimana syahdunya mendengar panggilan “ayah” “ibu” dari anak kita.

Ngomong-ngomong soal hati, hmm. You know, time passes so quickly. Memang sudah lima tahun berlalu namun masih jelas dalam ingatan. Awalnya tak pernah saya duga dia menyampaikan hal tersebut secepat itu. Ya, cinta pertamaku. Dengannya saya yang berusia 20 tahun baru benar-benar merasakan menyukai seseorang. Pria sederhana yang dari awal saya yakin kelak akan menjadi orang hebat. 

Kehadirannya dengan ketulusan dan kelembutan hati sebenarnya sudah cukup sempurna untuk meyakinkan perempuan namun saat itu saya terlalu sulit untuk dicintai dan untuk diyakinkan. Saya yang terlalau naif untuk mengaku cinta, terlalu diam untuk mengungkapkan apa yang diinginkan dan terlalu pintar menyembunyikan perasaan mungkin membuatnya kewalahan. Apa daya, terkadang bisa saja nahkoda memutuskan memutar balik perahunya karena cuaca dan ombak tidak memungkinkan untuk berlayar. 

Tidak sadar, perpisahan yang saya anggap karena perubahan sikapnya ternyata saya yang menyebabkan semuanya. Dia menyerah untuk meyakinkan saya lagi. Meskipun pernah diam seribu bahasa, kapan pun itu saya tidak pernah benar-benar membenci dia yang pernah mewarnai hidup saya dan ikut andil membentuk diri saya. Hanya saja cintanya datang di waktu yang belum tepat, namanya bukan jodoh. Saya sudah memaafkannya, dan saya tahu pasti dia selalu memaafkan saya. Semoga dia berbahagia dengan masa depannya. 

Memaafkan (itu harus) tapi tidak melupakan (agar jadi pelajaran dan tidak terulang lagi), kata Darwis Tere Liye. Salah satu penulis favorit saya itu juga pernah pula menulis begini, “Perempuan yang patah hati, kemudian dia bisa mengobati lukanya (meski susah payah). Maka dia tidak pernah sama lagi seperti yang dulu kita kenal. Dia telah berubah menjadi perempuan yang lebih tangguh, lebih kuat dan lebih mandiri.” 

Meskipun untuk pulih membutuhkan waktu yang tidak sebentar, bahkan ada yang mengibaratkannya main bola, saya pernah mencoba turun ke lapangan sedang cedera masih belum sembuh. Dan benar, itu sama saja akan memperparah cedera. Saya terpaksa keluar lapangan bahkan sebelum half time. Bukannya ingin sombong (dengan muka congkak), siapapun yang mengenal saya pasti akan tahu perbedaan pada diri saya, paling tidak saya menjadi sedikit lebih menyenangkan. 

Kembali lagi soal 25 dan jodoh. Tema mengenai jodoh memang selalu hangat untuk dibicarakan (terutama untuk para SINGLE). Bukan berarti saat berusia 25 tahun harus segera bertemu jodoh dan menikah, toh tidak ada yang mewajibkannya, kan? Bahkan saat ini saya belum tahu pasti sudahkah saya siap mencintai dan dicintai seorang pria dengan baik. 

Namun saya sadar, setidaknya dari sekarang harus bersiap-siap. Bersiap memperbaiki diri. Sesuatu yang terbaik didapatkan bukan serta merta begitu saja, harus ada upaya dan doa. Itu yang selalu terngiang di kepala akhir-akhir ini. Mana mungkin saya bisa mendambakanmu yang taat agama dan mengutamakan sholat tepat waktu sedangkan saya sendiri masih sering menunda waktu sholat. Mana mungkin saya bisa dicintai dengan baik bahkan untuk mencintai diri sendiri saja kadang saya lupa. Mana bisa saya mendidik anak-anak kita nanti sedangkan untuk mengendalikan diri saja masih kewalahan. Mana mampu saya berbakti pada orang tuamu sedangkan pada orang tua sendiri saja terkadang masih membantah. Malu. 

Memperbaiki diri, upaya terbaik memperjuangkan jodoh untuk saat ini.

Sebenarnya sejak dulu tidak terlalu menaruh arti khusus pada pergantian tahun. Namun kali ini saya ingin menyampaikan, selamat datang 2016, selamat bertemu lagi Januari. 

Dan untukmu, jodohku. Tidak akan saya menggebu-gebu untuk menemukanmu. Dalam diam saya akan berlari, dalam diam saya akan bernyanyi, hingga nanti kita dipertemukan karena satu alasan. DIA punya rencana yang lebih indah dari yang kita bayangkan. Meski, saya tidak tahu seberapa jauh jarak antara kita. Meski, hingga hari ini mungkin saja masih orang lain yang ada dalam hatimu, masih orang lain yang kau bayangkan senyumnya. Meski, saya tidak bisa menerka seberapa mirip atau seberapa beda engkau denganku. Namun jodoh tetaplah jodoh, bagiNya, apapun itu apabila sudah berkehendak terjadi maka terjadilah. 

(Kab. Semarang, 1 Januari 2016)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar